Love at the white house



Prolog

White House. Itulah nama rumah itu. Sesuai namanya, rumah itu memang lebih banyak di dominasi oleh warna putih di hampir semua sisinya. Bukan hanya bentuk bangunannya yang bercitarasa seni tinggi, tetapi juga letak rumah itu yang membuatnya sangat unik dan menarik.

Terletak di tengah danau, White House berdiri elok di atas permukaan air yang warnanya agak kehijauan. Terdapat jembatan kayu yang membentang dari tepian danau menuju White House. Dan yang membuat para penghuni rumah itu merasa betah dan nyaman adalah pemandangan alam sekitar yang sangat luar biasa menakjubkan. Dikelilingi oleh perbukitan yang diselimuti oleh perkebunan teh serta jajaran pohon pinus dan cemara yang tumbuh subur di tepian danau.

Kabut selalu setia menyambut penghuninya disaat subuh dan senja hari. Namun pada pukul 6.30 –disaat cuaca sedang cerah tentunya- ,sulur cahaya mentari tengah merekah. Dikala itu burung-burung mulai keluar dari sangkar lalu secara berbondong-bondong melayang diatas danau guna mencari ikan-ikan favorit mereka sambil sesekali berkicau riang, dan yang lebih menarik adalah kita bisa melihat para pemetik daun teh tengah melakukan aktivitasnya di perkebunan teh yang terhampar luas sejauh mata memandang. Dari situ kita bisa menebak mengapa air danau nampak kehijauan.

Ditemani oleh secangkir teh hangat, para penghuninya sering melewatkan saat terbaik ini di teras belakang rumah sambil menikmati pemandangan indah yang tersaji di hadapan mereka.

Rumah itu ternyata juga mempunyai sejarah yang menarik. White House awalnya dibangun sebagai tanda cinta dan kasih dari seorang lelaki kepada gadis pujaannya. Tak ubahnya seperti Taj Mahal yang di bangun oleh sultan Sjah Jahan untuk mendiang istrinya, Arjumand Bano Begum. Bangunannya sendiri memang tidak semegah Taj Mahal, namun rasa cinta dan sayang sang sultan kepada istrinya telah menginspirasi lelaki itu untuk membuat sebuah bangunan –meski tak serupa, tapi paling tidak mempunyai makna yang sama- yang menyimbolkan sebuah cinta suci yang ia wujudkan dalam bentuk rumah bernuansa putih, yang ia namakan dengan nama “White House”.

White House tidak hanya mempunyai sejuta pesona diluarnya, tetapi juga di dalamnya menyimpan sebagian kecil cerita cinta yang menarik. White House adalah saksi bisu, dimana cinta, kasih sayang, penghianatan, kebencian dan pengorbanan pernah terjadi di dalamnya.

Walau kini sebagian bangunannya sudah mulai rapuh karena telah dimakan usia. Meski tiang pondasinya mulai lapuk dan air danau siap menelannya kapan saja, namun White House masih ingin bertahan untuk tetap berdiri dengan tegar ditempatnya.

Yang ia inginkan hanya satu,

Ia ingin terus menjaga rasa cinta itu di dalam raganya…

(bersambung....)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bidadari bernama Lusi


4 Februari 2007

Pagi ini hujan turun dengan lebatnya, membasuh bumi yang kering kelontang tak tersentuh air. Sepertinya awan mendung cukup untuk menggambarkan kesedihanku saat ini. Yah….setiap hujan turun aku selalu ingat sama dia. Seolah butiran-butiran air hujan itu adalah sebuah memori yang akan selalu mengingatkan aku dengan sosoknya. Kenangan 2 tahun silam, sepertinya tidak akan pernah sirna dari lubuk hatiku. Bahkan, selamanya akan aku kenang di sepanjang sisa hidupku.

Aku duduk diberanda rumahku, dibawah kucuran air hujan, sambil memandang foto dirinya. Paras cantik itu selamanya akan aku bingkai di hatiku. Kalau saja dia jadi milikku, pasti aku sedang duduk bermesraan dengannya. Tapi itu tidak mungkin, karena itu hanya mimpiku saja. Aku memejamkan mata, pikiranku sibuk menerawang masa-masa indahku bersama dirinya, seolah aku baru saja menekan tombol mesin lorong waktu.

4 Juli 2005

Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah. Tidak terasa sekarang aku sudah kelas tiga dan sebentar lagi lulus. Perasaan baru kemarin aku menginjakkan kaki di sekolah ini. Waktu terasa bergulir begitu cepat.

Tidak ada sesuatu yang special di kelas ini. Semuanya biasa-biasa aja. Anak-anak di kelas ini rata-rata sudah aku kenal semua. Tapi ada seorang gadis yang cukup membuat mataku tak berkedip selama beberapa saat. Paras gadis itu sangat cantik. Apalagi saat ia tersenyum, dua lesung pipi langsung terlihat dipipinya, membuat ia makin terlihat manis.

1 Agustus 2005

Sebulan belakangan ini kerjaanku hanya memandang wajah gadis itu dari kejauhan. Maklum tempat duduk kami memang agak berjauhan. Aku tidak terlalu dekat dengan dia. Ia tipe cewek yang agak pendiam, yang menyulitkan aku untuk mengenal dia secara keseluruhan dan mendalam. Tapi aku tahu nama gadis itu, Lusiana namanya. Aku tahu dari teman cewekku yang doyan banget gosip. Dari dia juga aku tahu banyak tentang Lusi.

19 September 2005

Hari ini Pak Saar, wali kelasku, membagikan hasil ulangan harian. Sebagian murid dikelas ini langsung heboh dan sangat hiperbolis saat melihat hasil ulangan mereka. Ada yang jingkrak-jingkrak lantaran nilainya diatas 7,5 ada juga yang sok-sok bertampang sedih saat melihat nilainya di bawah 5 (padahal dalam hati bodo amat).

Suara tepuk tangan riuh rendah bergema didalam kelas saat Pak Saar membacakan nilai tertinggi yang diraih anak didiknya. Dan yang menyabet prestasi itu adalah Lusiana, yang lagi-lagi membuat aku makin kagum akan dirinya. Selama 3 bulan ini aku baru menyadari kalau dia itu ternyata sangat pintar.

31 Oktober 2005

Jam sudah menunjukan pukul 9 pagi, tapi guru yang akan mengajar di kelasku belum juga datang. Seperti biasa, kelas yang tidak ada gurunya selalu gaduh. Banyak gulungan kertas yang berserakan di lantai. Suasana makin tambah berisik dengan suara anak-anak cowok yang nyanyi-nyanyi nggak jelas diiringi dengan petikan dawai gitar yang nadanya nggak pas blas. Belum lagi suara anak-anak cewek yang tertawa terbahak-bahak yang membuat kupingku terasa ingin pecah. Yang nggak kalahnya lagi, aksi kejar-kejaran sepasang cowok-cewek yang tengah dimabuk asmara, kalo di perhatiin mirip film India gitu deh. Nggak sadar diri banget kalo mereka bukanlah anak TK lagi.

Ditengah suasana bising seperti ini, Lusi terlihat duduk anteng di mejanya. Dari raut wajahnya, ia sama sekali tidak terpengaruh dengan suasana ini. Matanya terus tertuju ke buku yang ia baca. Tadinya aku berniat mengajak ia ngobrol, tapi niat itu aku urungkan karena aku tidak mau mengganggu keseriusannya.

Posisiku seperti sapi ompong yang berada di dalam kandang, memandang kesegaran rumput liar tapi tak bisa memakannya.

23 November 2005

Akhirnya aku bisa juga berkenalan langsung dengannya. Walaupun awalnya agak sedikit kaku, tapi seiring berjalannya waktu, kami berdua bisa saling akrab. Tidak seperti dugaanku sebelumnya. Ternyata Lusi tidak pendiam-pendiam amat. Dia hanya tidak suka keramaian. Di acara obrolan kami itu tidak ada topik khusus yang kami bahas. Semua mengalir begitu saja. Terkadang ia juga tertawa kecil mendengar candaanku. Lusi tidak pernah tertawa terbahak-bahak seperti cewek barbar dikelasku. Ia lebih suka tersenyum dengan bibir tipisnya itu.

24 Desember 2005

Suasana sekolah hari ini terlihat sangat ramai, dengan kedatangan para orangtua yang ingin mengambil raport anaknya. Dan seperti biasa, aku memang tidak terlalu antusias untuk mengetahui hasil nilai raportku berapa. Paling juga pas-pasan. Aku menyadari betul kalo otakku ini tidak pintar-pintar amat. Rangking 3 itu adalah prestasi terbaik yang pernah aku raih selama bersekolah. Itu pun rangking 3 ke 6. Sediiih.

Tidak sulit untuk menebak siapa rangking satunya. Seperti yang sudah aku prediksikan. Lusi orangnya. Ia tampak begitu sumringah saat melihat nilai raportnya. Hebat! Nilainya rata-rata diatas delapan. Mungkin buatku itu udah yang paling bagus.

Tanpa disuruh aku langsung mendekatinya dan memberinya selamat atas prestasi yang sudah ia raih. Rasa kagumku semakin lama semakin besar kepada dirinya.

Tapi kalau untuk menyatakan cinta kepadanya, saat ini hatiku belum cukup berani. Aku tak ingin terburu-buru, karena aku takut kalau yang aku dapat nanti tidak seperti yang aku harapkan.

7 Januari 2006

Hari ini adalah hari yang istimewa buat Lusi. Ya, hari ini adalah hari ulang tahunnya. Dan begitu ia sampai di ambang pintu kelasku, aku langsung memberinya selamat. Sepertinya ia lupa dengan hari ulang tahunnya sendiri, karena saat aku memberinya ucapan ‘selamat ulang tahun’ ia terlihat begitu terkejut sekaligus senang. Senyum manis itu langsung terukir di bibirnya.

Lagi-lagi hatiku seperti es yang mencair melihat senyuman itu.

Setelah itu aku memberinya kado, yang berisi sebuah novel. Aku memberinya novel karena aku tahu betul kalo dia gemar sekali membaca. Novel “Harry Potter” karya J.K Rowling adalah novel kesayangannya. Dari dia juga aku jadi suka membaca, dan tentu saja aku jadi ketularan suka Harry Potter hehehe…

Ia menerima kado dariku dengan sedikit ragu-ragu. Aku tahu Lusi merasa tidak enak menerimanya. Tapi setelah aku desak, akhirnya ia mau juga menerimanya.

14 Februari 2006

Hari ini pabrik coklat kebanjiran rejeki. Bagaimana tidak? Batang-batang coklat yang biasanya selalu tergeletak manis di toko-toko, mendadak hilang diborong para muda-mudi yang ingin merayakan hari Valentine bersama pasangan mereka masing-masing.

Tidak terkecuali aku.

Tapi beruntung, hari ini aku tidak perlu repot-repot untuk mencari cokklat di toko-toko atau supermarket. Aku cukup membeli sepotong keju untuk aku berikan kepada Lusi. Ya, dia memang lebih suka keju daripada coklat. Memang terdengar sedikit aneh, tapi itulah Lusi. Dia pribadi yang unik. Berbeda dengan remaja putri yang aku kenal kebanyakan.

Lagi-lagi ia selalu ragu jika menerima sesuatu dariku. Seolah kado dariku ini adalah sebuah bom yang sewaktu-waktu bisa meledak. Tapi lagi-lagi aku meyakinkan dia untuk menerimanya. Dan dia menerimanya walau dengan tidak enak hati.

Saat jam istirahat, salah seorang temanku, Dita, memberikan aku sebungkus makanan yang semuanya terbuat dari coklat. Waktu aku bilang terima kasih, ia justru bilang,

“Jangan terima kasih kepadaku, tapi sama Lusi. Itu semua dari dia. Dia tidak enak hati kalau kamu memberikan sesuatu kepadanya, tapi dia tidak memberikan sesuatu juga kepadamu…”

Aku tahu Dita belum selesai bicara, jadi kuputuskan untuk menunggu kalimat berikutnya yang sebentar lagi akan meluncur dari mulutnya. Setelah menarik-ulur napasnya beberapa kali, ditambah raut wajah bimbang, ia berkata,

“Tapi ia risih Ed, kamu giniin terus”

Jujur aku tidak paham dengankata-katanya. Namun, belum sempat kalimat tanya terurai dari bibirku, Dita sudah lebih dulu menjelaskannya,

“Lusi tahu perasaan kamu. Dan yang membuat dia risih adalah… sikap kamu terhadapnya yang begitu baik. Dia takut tidak bisa membalas apa yang sudah kamu kasih ke dia”

Sebelum aku melontarkan kata-kata, Dita sudah balik badan dan berjalan menjauhiku.

Detik berikutnya kulalui dengan terdiam. Kubiarkan waktu bergulir tanpa arti di sampingku. Wajahku seperti tertampar. Ada rasa sedih yang bergemuruh di dadaku. Aku sebenarnya tidak berniat sekalipun untuk membuat ia risih. Aku iklas memberi semua itu demi dirinya. Aku hanya ingin memperlihatkan rasa sayangku terhadap dirinya. Itu saja…

21 Februari 2006

Salah satu temanku mengatakan kalau Lusi suka cowok yang rambutnya model spike. Dia menyarankan aku untuk merubah model rambutku supaya Lusi tertarik padaku. Tapi serta merta aku menolak usul itu. Aku tidak mau di bilang caper sama Lusi. “Aku tidak mau merubah apa pun dari diriku. Aku lebih nyaman seperti ini, apa adanya. Meski aku operasi wajah sekalipun, kalau Lusi tidak suka, ya tetap aja nggak suka! Aku ingin dia mencintaiku dengan apa adanya aku…”

28 Maret 2006

Setelah proses PDKT yang cukup lama, akhirnya aku memutuskan untuk ‘menembaknya’ hari ini. Aku tidak peduli dengan jawaban yang akan ia utarakan nanti. Yang penting saat ini aku harus berani dulu menyatakan isi hatiku sebelum ada orang lain yang merebut hatinya dariku. Jika jawabannya ‘ya’ maka ini akan jadi kado terindah sepanjang hidupku.

Kutulis surat di secarik kertas yang isinya :

pulang sekolah jangan pulang dulu. Aku tunggu kamu didepan kelas. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu!.

Surat itu pun aku selipkan ditempat pensilnya. Kebetulan saat ini sedang istirahat, jadi tidak ada orang yang melihat.

Waktu bergulir bak seabad lamanya, menanti jawaban yang terus menghantuiku beberapa bulan belakangan ini. Dan akhirnya, detik-detik yang menegangkan itu pun tiba…

“Aku juga sanyang sama kamu, Ed…” ucap Lusi dengan wajah yang tertunduk, bukan karena malu, tapi karena ada hal lain yang membuatnya tak berani menatapku.

Ada suara kepakan sayap yang membawaku terbang tinggi. Aku sangat bahagia mendengar tutur katanya barusan. Namun itu semua belum selesai. Dengan senyum mengembang aku menunggu ia berbicara lagi. Tapi begitu ia menatapku dengan raut wajah sedih, perasaanku jadi tidak enak.

“Tapi sebagai sahabat tentu saja” ucapnya lembut.

Kalimat barusan seperti anak panah yang menghujam sayapku, menjatuhkanku dari ketinggian 1000 meter, terjerebab dalam jurang yang penuh bebatuan, dan menggoreskan luka yang teramat sakit.

“Sungguh, aku minta maaf…Ed, Aku belum siap untuk menjalani sebuah hubungan untuk saat ini.. Dan aku lebih suka kalau kita menjadi sahabat daripada berpacaran. Karena sahabat lebih abadi ketimbang pacar. Sekali lagi aku minta maaf!!.”

Itulah jawaban Lusi setelah aku mengungkapkan isi hatiku kepadanya. Bisa dibayangkan betapa malu dan sakitnya hatiku saat itu. Tapi aku tetap konsisten dengan janjiku diawal. Apapun jawabannya harus aku terima, sepahit apapun itu.

Cinta memang tak harus memiliki, melainkan membiarkan orang yang kita cintai bahagia walau tidak dengan kita. kadang itu menyakitkan, tapi itulah harga yang harus di bayar untuk sebuah cinta. Begitu petuah yang sering aku dengar.

29 Maret 2006

Hari ini tepat ulang tahunku. Belum ada seorang pun yang memberiku ucapan ‘selamat ulang tahun!’ hari ini. Bahkan orang yang sangat aku harapkan untuk sekedar memberi ucapan “Happy B’day” saja, tidak mengucapkan itu. Bahkan memandangku saja tidak. Setelah insiden ‘penembakan’ itu, kami memang sedikit menjauh.

Tiba-tiba Umi dan Ayu datang ke kelasku dan memberiku kue blackforest berukuran sedang. Mereka berdua adalah sahabatku. Dulu mereka suka denganku, tapi setelah tahu aku suka dengan Lusi mereka lebih memilih untuk bersahabatan denganku.

Bisa ditebak bagaimana perasaanku, senang sekali pastinya. Ternyata masih ada juga orang yang ingat hari ulang tahunku. Begitu melihat kue nan lezat itu, teman-teman sekelasku langsung memberi selamat kepadaku. Tentu saja dengan harapan mereka kebagian kue itu. Dan kebahagianku memuncak saat Lusi memberi ucapan selamat padaku. Tidak hanya itu, ia juga memberikan senyum indah itu lagi. Hanya untukku.

Acara pemotongan kue dimulai. Tadinya aku ingin memberi potongan kue pertama kepadanya, namun keinginan itu aku urungkan. Aku tak ingin membuat ia merasa risih lagi dengan pemberianku. Jadi aku memberikan potongan pertama itu untuk diriku sendiri. Tapi mendadak aku menyesal tidak memberi potongan pertama itu kepada dirinya…..

17 April 2006

Menjelang UN aku dan Lusi mulai jarang berkomunikasi. Ia lebih memilih untuk serius belajar daripada melakukan hal-hal lain yang dirasa kurang penting. Ditambah pr-pr yang makin bejibun yang membuat aku tak ada waktu untuk sekedar memikirkan dirinya. Soal-soal itu agaknya sudah menyita waktuku.

22 Mei 2006

Ujian Nasional dimulai. Wajah-wajah tegang terlihat dari semua murid, tak terkecuali aku. Suasana kelas yang biasanya gaduh berubah menjadi hening, menandakan keseriusan kami dalam mengerjakan soal-soal. 3 hari ini yang akan menentukan nasib, lulus tidaknya dari sekolah ini. Jauh dalam hatiku, aku berharap agar aku masuk dalam jajaran orang yang lulus itu. Semoga.

15 Juni 2006

Setelah 3 hari berturut-turut kami didera dengan soal-soal yang ampun susahnya, hari ini kami bisa bernapas lega sekaligus menyegarkan otak dengan bertamasya ke Anyer. Dipantai inilah acara perpisahan diadakan.

Ditengah keramaian dan gelak tawa teman-temanku, aku memutuskan untuk berjalan-jalan menulusuri bibir pantai di temani desiran angin laut yang tak henti-hentinya menerpaku. Kemudian aku duduk sendirian diatas pasir putih, membiarkan kakiku dijilati lidah ombak sambil memandang jauh kedepan. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya birunya langit dan air laut yang saling beradu. Terpaan angin laut agaknya membuat wajahku berpaling kebelakang.

Dari kejauhan aku melihatnya. Ia sedang duduk santai sambil memandang birunya air laut. Sama sepertiku, ia juga sendirian. Ia terlihat begitu kesepian. Dari wajahnya ia seperti sedang mendabakan seseorang. Ingin rasanya aku menghampirinya, menemaninya, dan berusaha menghilangkan kesunyian itu dari lubuk hatinya. Tapi lagi-lagi itu tak kulakukan. Yang bisa kulakukan hanyalah memotretnya secara diam-diam dengan kamera digitalku. Aku igin mengabadikan ia dalam hidupku. Dan foto ini akan aku simpan. Selamanya…

26 Juni 2006

Hari ini pengumuman hasil ujian nasional. Tidak seperti biasanya, kali ini pengumuman diadakan di rumah wali kelas. Ini dilakukan untuk menghindari aksi coret-coret oleh para siswa.

Tiba-tiba saja wali kelasku, Pak Saar memberiku ucapan selamat karena hasil ujianku adalah yang tertinggi. Mulanya aku tidak percaya, tapi setelah melihatnya sendiri aku baru sadar kalau semua ini bukanlah mimpi. Dalam sejarah akademik, inilah prestasi terbaikku.

Semua teman-temanku langsung memberiku selamat seolah aku ini adalah seorang atlet yang baru saja memenangkan pertandingan. Aku masih saja belum percaya dengan semua ini. Orang sepertiku bisa mendapatkan nilai terbaik bahkan bisa mengalahkan Lusi yang sedari dulu selalu jadi juara kelas. Sungguh luar biasa. Aku berjanji pada diriku sendiri kalau tidak akan pernah melupakan hari ini. Hari terbaikku.

27 Juni 2006

Isak tangis mewarnai pelepasan pagi itu. Banyak diantara kami yang tidak rela harus berpisah dengan guru-guru yang sudah kami anggap orangtua kami sendiri. 3 tahun bukanlah waktu yang sebentar buat kami. Sekolah ini adalah saksi bisu bagaimana dulu kami melewati hari-hari kami yang penuh warna disini.

Tiba-tiba dia berdiri dihadapanku, menjulurkan tangn ingin memberiku selamat. Aku menyambut uluran tangan itu dengan penuh kehangatan. Sudah lama aku merindukan saat-saat ini. Dan aku menyesal kenapa hari-hari kemarin aku tidak dekat dengannya, bukan sebagai pacar tapi sebagai sahabat, seperti yang ia bilang. Kenapa baru sekarang, setelah semuanya akan berakhir, dia baru datang padaku. Hari ini adalah saksi dimana aku terakhir kali bertemu dengannya…

Tapi sebelum Lusi benar-benar pergi dari kehidupanku, ia memberikan sebuah kado perpisahan yang terindah buatku. Senyum terakhir dan terindah, khusus buatku.

4 Februari 2007

Sekarang 2 tahun sudah kejadian itu berlalu. Dan hingga kini aku masih merindukan dirinya. Bayang-bayangnya masih sering mampir di kepalaku. Entah sampai kapan perasaan ini akan terus membelenggu hatiku. Dalam hidup aku memang sudah berjanji untuk tidak melupakan kenangan indah yang terjadi kemarin. Itu semua akan aku simpan disini. Dihatiku…

Detik ini bergulir begitu cepat, tanpa tahu apa yang akan terjadi nanti. Namun kenangan indah tentang dirinya akan selalu abadi, hingga aku menghembuskan nafas terakhirku dan terbujur kaku dalam istirahat panjangku. Lusi, belive me, if you always in my heart. Forefer.


Untuk Lusiana

yang telah memberiku kesempatan

untuk merasakan –pahitnya- cinta…

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS