Cerita dari Tanah Lontara


Oleh : Waspuhan Muriadi

“Waktu. Begitu lamban melaju ketika kau diam menunggu. Bagai sekedipan mata saat bahagia menyapa. Seperti berhenti ketika kau jatuh hati.”

***
Bandara Soekarno-Hatta, 17 september 2012...

Pesawat yang akan membawaku ke Makassar mengalami keterlambatan 4 jam. Marah hanya akan membuatku makin lelah. Diam menunggu adalah pilihan terbaik yang ditawarkan tanpa ada opsi lain.  Belajar dari pengalaman traveling ke Tarakan tahun 2011, aku selalu membawa buku bacaan guna mengantisipasi kejadian seperti ini. Di salah satu bangku ruang tunggu yang tak berpenghuni, aku menyendiri sembari mengusir sepi, membenamkan wajahku pada sebuah buku berjudul “Trave(love)ing”.

Terinspirasi dari buku itu, aku menjadikan perjalananku ini sebagai terapi hati. Sebuah misi yang kuemban tidak hanya untuk mendapatkan kawan, tetapi juga untuk meninggalkan –jika tidak bisa disebut melupakan- kananganku tentanganya selama berada disana.

Burung besi itu akhirnya datang. Dengan sayapnya, aku terbang melintasi gugusan pulau yang bisa kulihat dari angkasa. Beruntung aku mendapat tempat duduk di pojok, hingga bisa kulihat gumpalan awan yang mirip kembang gula tengah mengapung di udara. Senyumku mengembang seiring laju pesawat yang kian kencang.

Makassar, aku datang...

***
Aku tiba di Universitas Hasanudin tepat ketika mentari sudah terbenam. Senja itu kini tengah berganti malam. Perutku semakin kram karena sejak siang belum terisi makanan. Selain pelukan, jabat tangan, rangkulan atau saapan, sekotak nasi juga turut menyambut kedatanganku.

Jujur kukatakan, selain kenyang aku juga senang bisa melihat wajah-wajah yang selama ini hanya bisa kutatap melalu dunia virtual, kini hadir di depan mata dengan membawa kehangatan. Para sahabat yang –mungkin- hanya bisa bertatap muka sekali dalam setahun.

Dan kini, ijinkan aku tuk mengucapkan terima kasih kepada IMASPI. Organisasi yang telah membantuku menemukan keluarga baru.

Usai beristirahat sekitar satu jam, kami melanjutkan perjalanan ke Tana Toraja. Bus putih kecil yang aku tumpangi melaju, mengarungi malam yang melepas perjalanan kami dengan gerimis.

Di tengah perjalanan, di saat semua sebagian besar orang tengah terlelap dalam dekap malam, aku lurus menatap ke depan. Bahkan, meski jarak terbentang ratusan kilometer dari Jakarta, bayangannya masih tetap ada. Tidak semua orang mudah melepaskan ketika mereka sudah terlanjur sayang.

Dan aku termasuk salah satunya.

***
Selamat datang di Toraja.

Saat kubuka mata, aku melihat tulisan itu terpampang di atas sebuah jembatan, menandakan kami sudah memasuki kota yang terkenal dengan upacara kematiannya tersebut. Udara segar pagi hari menyelinap masuk melalui kaca jendela, membangunkan raga-raga yang lelah usai perjalanan sekitar 12 jam. Di hadapan kami, bentangan alam pegunungan serta sawah yang terhampar luas menjadi pemandangan yang benar-benar membuat mata berbinar. Tongkonan, rumah khas Toraja mulai terlihat disana-sini.

Bus berhenti sejenak di deretan pertokoan. Aku dan Fahmi, adik kelasku, langsung celingukan, mencari spot untuk mengambil gambar. Sebuah replika rumah adat menjadi simbol selamat datang dibangun di tengah perempatan jalan. Di sanalah kami mengabadikan poto sebelum akhirnya bus harus kembali melaju menuju peristirahatan kami selama di Toraja.

Kurang lebih satu jam, kami tiba di sebuah tempat dengan deretan Tongkonan berjejer rapi. Salah satu di antaranya menjadi tempat istirahat kami selama disana. Senang rasanya. Serasa hidup di tengah-tengah suku asli Toraja, di mana alat-alat elektronik (kecuali lampu) tidak kau temukan disana. Praktis, selama tiga hari kami tidak menonton TV. Tidak masalah. Sesekali tubuh ini perlu relaksasi, hidup harmoni dengan alam sekitar tidak ada salahnya, bukan?

Kapan lagi bisa menginap di Tongkonan, mandi di kali yang airnya jernih, atau sekedar menghirup udara sejuk khas pegunungan sembari menyeruput kopi Toraja di kala pagi. Buatku, ini adalah kenikmatan tersendiri yang patut aku syukuri.

Secangkir kopi, menyambut pagi.

Pagi itu, tanpa ganti baju dan hanya menggosok gigi serta cuci muka di kali, kami sarapan di bawah Tongkonan yang terdapat semacam bale-bale. Menunya memang sederhana, tapi ada kebersamaan yang membuat segalanya jadi terasa istimewa.

Canda tawa itu, senyuman itu, telah aku rekam dan kujadikan kenang-kenangan yang akan kubawa pulang.

***

Siang harinya, usai penyambutan di kantor Bupati Toraja, kami kembali ke tempat peristirahatan untuk makan siang. Setelah itu baru dilanjutkan dengan kunjungan ke sebuah perkampungan adat Toraja dengan deretan Tongkonan yang usianya mungkin sudah puluhan tahun. Namun sayang, minimnya perhatian pemerintah dalam melestarikan budaya dan objek wisata, kutemukan disana. Banyak bangunan-bangunanya yang sudah mulai rusak, lapuk dimakan usia dan kurang terawat.

Sore itu, kami kembali ke penginapan guna mempersiapkan pesta penyambutan serta refleksi IMASPI selama satu tahun kepengurusan. Karenanya, aku rindu pulau kapuk. Aku ingin rebahan dan tidur barang sejenak dengan tenang. Raga ini sudah terlalu letih untuk kembali berpetualang. Dan jiwa ini rindu sekali bebas lepas ke dunia khayal.

Mata ini terpejam, dan kuucapkan selamat datang pada dunia mimpi.

***
Makan malam digelar berbarengan dengan musik dan lagu khas Sulawesi Selatan yang mengalun merdu di tengah hawa sejuk malam. Pesta belum usai, tapi makan malam kami sudah. Kini saat refleksi IMASPI dimulai. Aku berdoa Riche, sahabatku dari UI lekas datang. Kami bertujuh sudah cukup sedih dengan ketidak-hadiran konjen (komisaris jenderal) dari UNY, UGM dan UPI. Jangan sampai kali ini UI absen.

Suara deru mobil terdengar saat acara hampir memasuki sesi terakhir. Ketika mata sudah mulai menyipit, mulut yang menguap lebar, dan  badan yang sudah mulai lelah setelah seharian diajak menjelajah. Riche dan rombongan dari UI serta Gerry, mahasiswa dari UNIMA keluar dari mobil yang langsung kami sambut dengan hangat.

Acara kami lanjutnya hingga pukul 11 malam. Usai rapat, para konjen berkumpul, melepas rindu satu sama lain, di saat yang lain melepas rindu dengan kasur di kamar masing-masing. Kami mendiskusikan perkembangan organisasi dimana kami bernaung. Mengevaluasi kinerja yang masih kurang disana-sini. Tanpa terasa, dini hari menyapa dan kami terlelap dalam satu ruangan yang sama.

***

Salah satu momen yang paling berkesan adalah kunjungan sekolah di Toraja.

Tidak akan kulupa mata mereka, ketika melihat kami memasuki ruangan kelas dengan antusias tapi malu-malu. Wajah polos nan lugu, membuat aku tergagu. Mereka memperhatikan warna almamater kami yang warna-warni. Kata salah satu guru yang ada disana, para murid disini tidak terpikiran untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Masih dengan faktor yang sama : ekonomi. Jangankan untuk kuliah, makan saja susah.

Sungguh, hatiku terenyuh mendengarnya.

Di kelas itu, selain promosi tentang jurusan bahasa Perancis, kami juga memotivasi mereka. Kuharap mereka tahu dan mau memperjuangkan hak mereka sebagai warga negara : mendapatkan pendidikan.

Kunjungan kami singkat, tapi kuharap apa yang kami berikan –sekecil apa pun itu- dapat melekat.

***
Bus itu berhenti di persimpangan jalan.

Pendakian menuju tempat upacara Rambu Solo.

Kami akan menghadiri acara Rambu Solo. Itu acara penyembelihan kerbau untuk upacara kematian di Tanah Toraja. Untuk menuju tempat upacara, kami harus mengambil jalan menanjak yang tidak bisa dilewati bus karena lebar jalannya yang sempit dan jalannya yang terjal. Jarak setengah kilometer dengan medan menanjak memang menjadi tantangan tersendiri. Di bawah matahari yang bersinar terang benderang, kami berjalan sempoyongan. 

Aku nyaris dehidrasi. Salah sendiri minum kopi tadi pagi. Aku membatin dalam hati. Dan sialnya, aku lupa membawa botol minum.

Darah itu keluar dari leher sang kerbau.

Semua orang menyaksikan dengan terpukau. Ada yang mendekap mulut. Ada yang mengusap perut. Ada yang takut. Aku termasuk golongan yang terakhir. Meski demikian aku tak menghindar. Kucoba untuk tegar meski kemudian gagal total. Perutku berontak. Mual. Batinku tidak kuat meski setiap Idul Adha sering melihat pemotongan hewan seperti ini, tetap saja aku tidak siap tiap melihat nanar mata hewan itu saat meregang nyawa kesakitan.

Saat kembali ke bus, aku berkesempatan untuk berpoto bersama kerbau gendut nan lucu yang kebetulan sedang digiring si pemiliknya untuk di bawa entah kemana.

Bus kemudian meluncur ke tempat wisata Londa dan Ketekesu. Kedua tempat ini menyajikan tempat wisata yang sedikit menyeramkan untuk sebagian orang, yakni berhubungan dengan pemakaman. Uniknya terletak pada peti jenazah yang diletakkan di tebing-tebing batu atau goa, dan terdapat patung orang yang bersangkutan di sekitar peti jenazah mereka. Konon, lama-kelamaan, patung-patung itu akan semakin menyerupai wajah orang yang dimakamkan.

Oke, sampai disini aku sudah mulai sedikit merinding. Tapi di Londa, aku tergoda untuk masuk ke dalam goa yang gelap gulita dan penuh dengan tengkorak. Aku bergabung dengan sebuah rombongan yang terdiri dari 6-7 orang beserta pemandu yang membawa sebuah lentera guna menerangi jalan kami menelusuri perut goa.

Sementara, di Ketekesu aku cukup menelusuri tebing yang bertebaran dengan tulang-belulang, dan menolak dengan halus tawaran anak kecil yang mau memanduku menelusuri goa disana. Bukan apa-apa, kakiku sudah mulai lelah menapaki anak tangga serta perjalanan dari pagi hingga hampir menjelang petang.

Akhirnya kuputuskan untuk duduk-duduk di anak tangga sambil mengamati turis-turis asing yang berlalu-lalang. Menurut penuturan Pak Bupati, mayoritas turis di Toraja adalah dari Perancis. Mendengarnya aku langsung senang bukan kepalang. Pasalnya, bahasa yang aku kuasai selain bahasa Inggris adalah bahasa Perancis. Dan benar saja, beberapa kali kami bertemu dan berbincang sebentar dengan turis-turis dari negeri Menara Eiffel itu.

Sore itu, kami kembali ke penginapan dengan membawa bekal cerita yang kelak akan menjadi cerita di tanah kami berasal.

***

Malam hari, usai tarian Poco-poco kami disuguhkan dengan pesta perpisahan. Para panari telah dipersiapkan untuk menghibur kami malam itu. Seperangkat alat musik juga telah disediakan untuk siapa saja yang ingin –atau “dipaksa”- menyumbangkan sebuah lagu. Acara malam itu berlangsung cukup meriah.

Acara belum usai, namun sebagaian besar delegasi sudah mulai tumbang di kamar. Termasuk aku. Rasa kantuk yang luar biasa telah menghantarkan aku ke alam mimpi lebih cepat dari biasanya.

Keesokan harinya, saat hendak mandi, aku baru menyadari sandal gunung yang selama ini menemani hari-hariku berpetualang, telah hilang. Ternyata tidak cuma aku yang kehilangan sandal kesayangan. Teman-teman dari UNNES juga mengalami nasib serupa. Entah mau marah kepada siapa. Yang bisa kami lakukan hanya meratap kecewa, berharap Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik.

Andai kehilangan dia semudah melupakan kehilangan sandal kesayangan, mungkin rasanya tidak akan seberat ini melepaskannya. Dan aku memetik pelajaran dari sini :

kita baru menyadari bahagianya bersyukur, setelah merasakan betapa sedihnya kehilangan.

***
Usai berbelanja oleh-oleh di Rante Pao, bus kembali meluncur kemana ia berasal : Makassar.

Dan kembali kami disuguhkan oleh panorama alam Toraja yang indah. Ada gunung yang membuat aku tersenyum geli. Namanya Gunung Nona. Bukan saja namanya yang bikin tertawa, tapi juga karena bentuknya yang mirip (maaf) dada wanita.

Bus sempat mengalami insiden kecil. Ban bocor di tengah jalan dan hampir tidak menemukan bengkel yang buka tengah malam, hampir membuat kami frustasi karena kelelahan. Perut mulai keroncongan dan badan mulai pegal-pegal.

Kulihat kelelahan itu tercetak jelas, tidak hanya peserta, tetapi juga panitia. Diantaranya, bahkan harus gantian berdiri karena bangku yang kurang memadai (atau kelebihan muatan?). Tapi yang pasti, salut buat mereka yang sudah bekerja keras dan mencurahkan segala tenaga serta pikirannya untuk kami, para delegasi.

Hormat kami para delegasi, untuk kalian para panitia Multikom IMASPI.

Tibalah kami di asrama mahasiswa UNHAS pukul dua dini hari. Aku langsung menuju kamar dan membaringkan badan usai mematikan lampu. Kini saatnya tidur karena beberapa jam lagi kami akan bertarung di semua perlombaan yang diadakan hari itu.

Sorenya, kami bersepeda berkeliling kampus UNHAS yang sangat luas ini. Sebuah program dari kampus untuk mendukung “Go Green” dengan menyediakan layanan sepeda gratis merupakan tindakan konkret yang menurutku patut diapresiasi dan dijadikan contoh. Semoga UNJ kelak akan meniru jejak UNHAS agar UNJ (yang maha "imut" itu) semakin hijau. Bukan karena almamaternya, tetapi karena lingkungannya yang benar-benar hijau dan asri. Mengurangi jumlah kendaraan bermotor dan menyediakan lebih banyak lagi taman agar menjadi tempat yang nyaman.

Salah satu kegiatan IMASPI adalah mengadakan bakti sosial. Sore itu kami mampir ke perkampungan kumuh, dimana terdapat sekolah “darurat” yang didirikan oleh mahasiswa UNHAS untuk membantu anak-anak disana mengenyam pendidikan. Sebuah langkah kecil yang bisa kami lakukan untuk sebuah awal mimpi mereka yang besar. Indahnya berbagi, kami jadi mensyukuri apa yang telah kami miliki sekarang.

Selesai dari sana, kami kembali mengayuh sepeda, melanjutkan tour kampus dan berhenti di tepi danau. Disana kami menikmati pisang ijo sembari menatap langit jingga dengan matahari yang kian meredup.

Dengan berkumandangnya suara azan, kaki kami melangkah pulang.

***
Meski sedikit tidak enak badan, mendengar kata pantai, semangatku pulih kembali. Kali ini pantai Losari yang akan aku sambangi. Tidak sabar rasanya menikmati matahari terbenam dari sana.

Namun agaknya aku harus bersabar, karena tour  hari ini kami mulai dengan wisata kuliner, yaitu Mie Titi. Jangan bayangkan mie dengan kuah kental dengan bumbu pedas layaknya iklan-iklan di TV. Ini adalah mie kering, yang digoreng lalu disiram dengan kuah daging. Rasanya enak, tapi buatku seperti makan cemilan lidi-lidian kalau di Jakarta. Mirip.

Destinasi selanjutnya adalah Fort Rotterdam atau benteng Rotterdam. Benteng ini terletak dekat tepi pantai. Bangunan peninggalan Belanda ini mirip Kota Tua di Jakarta. Hanya saja yang ini sudah mengalamai renovasi. Koleksi museumnya sangat terjaga dengan bagus. Tamannya yang indah dan rapi semakin mempercantik Benteng ini.

Setelah bersitirahat sambil menikmati es kelapa di pinggir jalan, kami melanjutkan dengan wisata belanja. Kali ini kami dibawa ke sebuah toko yang menjual barang-barang khas Makassar. Dari sekian barang yang dijajakan, aku tertarik untuk membeli sambal saos khas Makassar. Mungkin terdengar agak aneh. Jauh-jauh kemari cuma beli sambal saos yang mungkin bisa kau temukan di Jakarta.

“Dipercepat ya belanjanya. Kalau tidak, kita tidak bisa melihat sunset di Losari...” ujar salah satu dari panitia.

Aku memutuskan untuk keluar dari toko setelah sekantung belanjaan sudah di tangan. Uang 100 ribu melayang. Tapi hati senang. Langkahku ringan, menuju Losari yang kian indah kala matahari akan tenggelam.

Tunggu aku, sebelum ragamu lenyap di balik Cakrawala jingga di ufuk sana.

Sunset di Pantai Losari.

Debur ombak, semilir angin pantai, serta hiruk pikuk membuaiku yang tengah duduk di tepi pantai. Awalnya beramai-ramai. Lalu kemudian menyepi. Tinggalah aku sendiri. Menatap lurus ke depan, dimana si bola api akan segera pergi. Memandangnya aku nyaman. Menatapnya aku tenang.

Hingga kusadari, sekembalinya dari sini, aku harus bisa melupakanmu.

Aku diam. Ketika jarak jauh terbentang, disitu aku sadar, bahwa aku sudah terlanjur sayang. Aku kemudian menuliskan sebuah catatan kecil di HP.

Bisakah kita memulainya dari awal? Saat rasa itu belum ada. Ketika jarak itu belum tercipta.  Tatkala hati belum ternodai oleh jiwa yang tak ingin sendiri. Sepi.

Tapi... pada akhirnya nanti, mau tak mau, aku harus mengiklaskan. Karena nanti, kita akan berjalan sendiri-sendiri. Dengan sebuah doa yang kupanjatkan, kuucapkan selamat tinggal untuk semua kenangan. Aku sepakat mengakhiri hubungan yang bahkan belum sempat kita mulai. Aku hanya ingin berkata,

“terima kasih kau telah mampir ke hati ini.”

Matahari itu telah tenggelam. Rasa itu belum sepenuhnya padam. Api telah tiada, namun bara masih menyala. Membuka hati adalah cara terjitu untuk diisi dengan hati yang baru. Bila tak kutemukan kini, mungkin nanti. Saat hati sudah siap untuk diisi kembali. Hingga hari itu tiba, ijinkan aku untuk jaga jarak. Usahlah kita bertemu kalau perasaan itu tak juga beku usai melihatmu.

“Puhaaaan... kemari!”

Telingaku menangkap sumber suara dari arah kiri. Gerry melambaikan tangan, menyuruhku mendekat. Aku menghampiri para mahasiswa UNIMA itu dengan langkah kaki kecil. Semakin kencang seiring jiwa yang telah lapang.

“Han...sendirian aja?” Danny menyapa ketika tak sengaja aku berpapasan denganya.

Kepalaku mengangguk pelan. “Lo sendirian juga?”. Kali ini gantian ia yang mengangguk. “Come on Dan. C’est la vie. Udah saatnya move on hahaha...” aku meledeknya yang sebetulnya adalah sindiran untuk diriku sendiri.

Danny hanya tersenyum getir. Apa ia juga sudah bisa move on dari oknum "R"? Hanya Danny yang tahu jawabnya. Aku melambaikan tangan padanya, lalu pergi menghampiri Gerry dan kawan-kawannya sebelum Danny menimpali.

Nama tempat makan itu Coto Gagak.

Kami menyantap hidangan makan malam dengan menu khas Makassar : Coto. Terdiri dari semangkuk kecil Coto daging, taburan bawang goreng dan daun bawang, serta ketupat. Semuanya serba ukuran mini, tapi aku dan Yudis menyerah usai menghabiskan ketupat yang kedua. Hanya Danny dan Muis yang nambah satu porsi lagi. Apri geleng-geleng kepala.

“Siapkan perut untuk ronde kedua.” kata Apri. What? Apa lagi? Sungguh, perutku sudah penuh. “Masih ada pisang Epe.”  lanjutnya.

Dan di sebuah sudut pinggir jalan, tempat dimana pisang epe itu berada, kami bercengkrama sebelum kembali ke kampus untuk merayakan pesta penutupan. Malam terakhir di Makassar, pikirku. Sedih juga mendapati kenyataan besok pagi pesawat harus membawaku kembali ke rutinitas Jakarta. Inilah realita.

Kami tiba kampus tengah malam. Sepi. Namun di salah satu sudutnya terdapat keramaian dengan gelak tawa dan gegap gempita menanti pengumuman lomba. Dan rasa bahagia itu membuncah, saat satu per satu delegasi menyabet gelar juara. Yang paling tidak kuprediksi dan kuantisipasi adalah : UNJ meraih juara umum.

Dan majulah kita sebagai pembuka di acara penutupan itu. Rasa senang bercampur bangga melekat dalam dada. Piala besar itu terangkat tinggi ke udara. Dan pertanyaannya kemudian : bagaimana membawa piala segede ini ke Jakarta?

Pukul 3 dini hari kami acara usai. Kami melangkah ke Ramsis dengan gontai. Tiga jam lagi aku sudah harus ke bandara. Melihat kondisi mereka yang baru tidur subuh, aku jadi tak tega membangunkan mereka hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku hanya mengirimkan pesan singkat. Yang intinya :

... aku pamit, sampai berjumpa tahun depan.

                                                                                                                Bekasi, 1 Oktober 2012
                                                                                                                00:55 WIB





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Malam Terakhir di Paris van Java


Oleh : Waspuhan Muriadi

"Suatu hari, ketika kita kembali kemari, jangan pernah lupa.
Ada kisah yang sempat kita toreh di kota ini..."

Apakah perpisahan itu ada atau hanya sebuah kata? Kalau benar adanya, maka aku lebih suka menyebutnya sebuah awal dari pertemuan yang baru. Seperti dua sisi mata uang. Sudah hukum alam. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Dua hal yang tak mungkin terhindarkan. Kita tinggal menjalankan dan menunggu kapan hal itu akan terjadi, tanpa tahu pasti.

Tapi dari perpisahan, aku juga banyak belajar tentang proses menemukan.

***

Tahun 2009...

Masa tiga tahun terasa begitu cepat berlalu. Sepertinya baru kemarin aku mengenakan pakaian putih abu-abu, tapi kini, aku harus mencopot atribut itu karena sudah bukan lagi murid SMU. Tepatnya nanti malam, kami akan merayakan pesta kelulusan yang diadakan di salah satu hotel di kawasan Lembang, Bandung.

Masih teringat jelas suasanya pagi menjelang keberangkatan kami ke kota itu. Langit melepas kepergian kami dengan gerimis. Cakrawala seperti menangis. Aku duduk paling pojok, menikmati guratan-guratan air yang tersaji di kaca jendela tanpa banyak kata. Bus mulai melaju. Di pojokan itu, aku terdiam membisu.


Mendadak, aku tak ingin semua ini berlalu.

Tawa ceria serta riang canda di dalam bus yang membawa kita ke kota kembang.

Kunikmati perjalanan menuju kota Bandung dengan lebih banyak terdiam di tengah ingar-bingar teman-teman yang melepas penat sehabis ujian. Wajar bila mereka ingin merayakan. Kebebasan. Beban bagai terlepas dari pundak. Kini saatnya merilekskan otak. Semua merayakannya dengan caranya masing-masing : bernyanyi, main gitar, mendengarkan musik, bercanda gurau, membaca buku atau tidur.

Aku termasuk golongan yang terakhir.

***

Tak terasa bus yang kami tumpangi sudah sampai di area parkir hotel. Begitu sampai, aku langsung mencopot kacamata hitamku yang langsung tergantikan dengan hijaunya pemandangan sekitar. Rasanya, tak sabar ingin turun dan menikmati udara segar kota kembang. Dan benar saja, begitu turun dari bus, hawa sejuk khas pegunungan langsung menyapa. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Semuanya tampak hijau dan asri. Aku jadi teringat akan desa ibuku yang permai seperti ini : Bumiayu. Desa yang selalu menawarkan kerinduan untuk segera kembali pulang ke kampung halaman.

Tak sengaja, aku melihat dia. Tatapan kami bertubrukan selama sekian detik sebelum akhirnya ia menundukkan kepala. Entah karena malu atau perasaan itu masih jua beku?

Sore itu, kami melakukan gladi resik di hall tempat acara perpisahan akan berlangsung nanti malam. Beberapa orang merapikan meja dan kursi, sebagian mendekorasi panggung. Tak jauh dari situ, empat orang temanku tengah sibuk latihan untuk menjadi MC. Aku sendiri langsung bergabung dengan tim paduan suara untuk take vocal. Kami latihan dengan serius, mengingat, inilah persembahan terakhir untuk para guru-guru kami sebelum melepas kami pergi.

***

Senja kini berganti malam. Tepat pukul 19:00 pesta perpisahan dimulai. Para pria tampak gagah berbalut setelan jas yang tampak menawan. Sementara para wanita terlihat sangat cantik dengan balutan kebaya yang dipadukan dengan kain batik sebagai bawahannya. Riasan wajahnya tidak berlebihan namun tetap sedap dipandang.

Asal kalian tahu, kalian adalah bidadari malam itu...

Aku mencari sosoknya diantara mereka. Tidak perlu waktu lama, karena aku telah menemukannya. Masih seperti dulu. Mendadak, aku kangen wajah lugu itu...

Acara dimulai dengan sambutan dari kepala sekolah serta pelepasan secara simbolik, bahwa kami dinyakatan lulus dari SMA Negeri 12 Bekasi. Sekolah yang dulu sempat aku benci, tapi kini aku cintai. Tak lupa beliau memberikan beberapa pesan dan kesan sebelum melepas kami pergi. Suasana haru mulai tercipta. Namun belum ada air mata yang jatuh sampai pada akhirnya saat itu tiba.

Seluruh hadirin dipersilahkan berdiri oleh sang MC. Berbaris rapi dan berjalan mengekor, menyalami guru-guru kami satu per satu dengan rasa sedih bercampur rasa terima kasih. Tangis itu akhirnya pecah. Suasana haru tercipta dengan sendirinya.

Kami, para tim paduan suara mengiringi acara salam-salaman itu dengan emosi yang sebisa mungkin kami tahan. Suara hampir tercekat. Dada mulai sesak. Lagu “Himne Guru” mengalun di udara dengan kidmat. Kami menyanyi dengan sepenuh hati. Pada bait terakhir, air mata itu akhirnya meleleh, membasahi pipi kanan dan kiri.

Kami segera masuk ke dalam barisan. Mengantri untuk sekedar mencium punggung tangan guru-guru kami. Mungkin ini untuk yang terakhir kali. Sebuah salam perpisahan yang akan selalu terngiang dalam ingatan. Kelak, kami pasti merindukan nasehat, bimbingan, omelan, cubitan dan juga kasih sayang mereka. Aku percaya itu.

Untuk Bapak dan Ibu guru, terima kasih...

Foto bersama kepala sekolah, Ibu Eko dan Wali kelas, Ibu Rini.

(Bu Eko, Bu Rini, Bu Nia, PaK Tarno, Pak Rahmat, Pak Camdan dan seluruh guru SMAN 12 Bekasi, salam hormat dan rindu dari kami. Semoga, masih ada waktu yang akan mempertemukan kita kelak. Amin).

Usai bersalam-salaman dengan para guru, kini saatnya bersalaman dengan teman-temanku. Kami saling berangkulan, berpelukan, tertawa, saling mengusap air mata atau berpoto bersama. Kami berjanji untuk menjaga silaturahmi meski hari-hari ke depan tidak bisa lagi setiap hari berinteraksi. Esok, kami akan berjalan sendiri-sendiri.

Menentukan, mau kemana setelah ini.

***

Aku hendak berjalan menuju kamar sebelum akhirnya langkahku terhenti ketika seorang teman memanggilku. Fisti namanya.

“Han, ada yang mau bicara sesuatu sama kamu... “ katanya.

Aku melihat ke arahnya. Dia berdiri tepat di belakang Fisti. Matanya berkaca-kaca. Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya kepalaku mengangguk perlahan. Fisti memberi ruang untuknya mendekat ke arahku.

Aku menatapnya lekat. Kenangan 30 hari bersama dirinya masih begitu melekat. Rasa sakit hati karena perpisahan itu seperti berkarat. Pagi itu, ketika kami memutuskan untuk tidak lagi bersama, jarak itu mulai ada. Kami bagai kutub selatan dan utara. Perlahan, kami mulai menjauh.

Tapi malam itu, kurasakan tembok yang menjadi pemisah diantara kami perlahan mulai runtuh dengan sebuah kata maaf.

“Maafin aku...” ucapnya lirih, menahan tangis yang coba ia tahan namun gagal. Buliran air mata itu jatuh satu-satu.

Malam itu, aku dan dia mulai menghidupkan kembali percakapan yang setelah sekian lama mati suri. Kebekuan diantara kami perlahan mencair. Untuk pertama kali kurasakan hangat kulitnya ketika tubuh kami saling mendekap, erat. Tak akan pernah kulupa lelehan airmata itu ketika wajahnya mampir di pundakku. Cukup sekali saja rengkuhan itu, sebelum akhirnya pelukanku mengendur, melepasnya perlahan dalam diam. Hanya 30 detik tubuh kami saling terkait, namun itu sudah lebih dari cukup untuk meruntuhkan batas yang ada.

Tanpa ada kata, aku tahu hati ini telah memaafkanya...

Terima kasih kau telah menjadi bagian dari perjalanan hidup ini. Meski itu hanya 30 hari...

***

Kami tiba di Bekasi sekitar pukul delapan malam. Sepanjang perjalanan, kuperhatikan sahabatku Nurdiana tak banyak bicara seperti biasanya. Ia lebih banyak diam. Kutahu, di hatinya tersimpan sedih. Air mata itu berlinang bukan pada malam perpisahan, tapi justru sekarang. Saat kami masing-masing kembali pulang.

Aku mencoba memahami posisinya. Sama seperti kita, ia pun  merasakan hal yang sama. Rentang waktu tiga tahun telah banyak menorehkan cerita disana. SMA kita tercinta.  Mana mungkin semuanya bisa hilang dalam semalam? Tidak sedikit pula cerita yang kulalui dengannya.

Hampir setiap sore, kami naik kereta dari stasiun Bekasi menuju stasiun Tambun demi rupiah yang harus kami simpan untuk esok hari. Stasiun Bekasi menjadi saksi, aku, Novi dan Nurdiana pernah duduk kebasahan menunggu kereta tiba dan hujan reda. Atau sekedar menatap warna jingga ketika senja tiba. Di sana pula aku pernah kehilangan jam tangan. Nurdiana kehilangan tas berharganya. Tapi dari Novi, kami temukan penggantinya : sahabat. Wahyu dan Hendi. 

Kami bagai lima serangkai yang tak terpisahkan. Berbagi segalanya dalam kesederhanaan.

Di suatu senja, kami pernah berkelakar. Jika suatu hari nanti kami ingin kembali ke stasiun ini lagi hanya untuk mengenang apa yang pernah kami lalui bersama di sini. Keinginan itu belum sempat terwujud hingga kini. Kuharap, masih ada kesempatan yang akan mempertemukan kami suatu hari nanti. Aku percaya, hari itu akan tiba. Entah kapan pastinya.

Namun setelah hari itu, mungkin kami akan merindukan suara mesin kereta. Berdesak-desakan dengan penjual dan penumpang kelas ekonomi lainnya. Kelaparan dalam himpitan orang-orang dan juga guyur hujan. Atau, matahari senja yang akan terbenam di ujung rel sana, tempat kereta yang akan membawa kami pulang, datang.

Dan tibalah aku di akhir cerita. Hingga detik ini, aku selalu rindu moment-moment sederhana itu bersama mereka.

Tidak perlu menunggu nanti, sekarang pun aku merindukan canda-tawa seperti ini.

                                                                                               Bekasi, 20 Agustus 2012
                                                                                              23:38 WIB

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Suatu Hari di Kota Tua


Oleh : Waspuhan Muriadi

Bahkan, perjalanan yang direncanakan secara spontan, bisa menjadi cerita. Meski itu hanya sehari. Walau itu hanya berkeliling kota, tanpa kau tahu tujuanmu apa. Rehatlah sejenak. Dan lihat sekelilingmu. Ada cerita disitu.

 Alun-alun Kota Tua.

Aku sudah sering mendengar wisata Kota Tua Jakarta, entah itu dari teman, media massa atau dari televisi. Niat untuk pergi kesana pun sudah ada sejak aku pertama kali mendengar namanya. Tapi selalu gagal dengan berbagai macam alasan. Padahal hampir setiap hari aku pergi ke ibu kota, namun hari itu, untuk pertama kalinya rencana untuk pergi kesana terlaksana berkat ajakan dari seorang teman.

Terima kasih untuk Inge yang telah membawaku turut serta dalam expedisi kecil ini, hingga aku lebih mengenal dan mencitai kota ini.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 08.30 WIB. Awan mendung menghiasi pagi kota Jakarta yang tak pernah sepi. Januari selalu menghadirkan satu hal yang aku senangi : gerimis, yang –entah mengapa- selalu tanpak romantis. Di salah satu sudut shelter busway Harmoni, seorang remaja putri duduk sendiri. Merasa sepi meski disekitar banyak orang berlalu-lalang. Ironis memang. Sambil menunggu, ia sibuk mengotak-atik handphone untuk membunuh sepi.

Gadis itu bernama Mariana.

Kasihan. Pasti bibirnya manyun saking bosannnya. Aku yang sedang berada di kampus UNJ, mencoba menghubungi dan menanyakan keberadaan teman-temanku yang hari itu janjian ke Kota Tua. Ya, hari itu kami akan berwisata ke sana. Imron berada di Pancoran. Menk sedang menuju ke Harmoni. Sinta ada di Roxi. Inge hampir tiba di Harmoni dan si “Miss Ngaret” alias Ajeng baru di Pulogadung. Sedangkan Oneng sedang jadi baby sister, menjaga ponakannya. Tapi aku tidak tahu dimana Vety berada.

***

Tepatnya di Matraman, ketika kulihat awan mendung sudah berubah wujud menjadi butiran air yang jatuh ke bumi. Awalnya hanya rintik gerimis, namun intensitas butiran air itu semakin besar yang kemudian menciptakankan guratan-guratan di kaca jendela busway. Cantik. Aku selalu menyukai guratan-guratan itu. Sejak dulu.

Namun, sesaat kemudian hujan pun turun tanpa ampun.

Saat kakiku sudah menjejak di shelter busway terakhir, Imron, sahabatku dari jurusan bahasa arab, sudah menunggu disana. Tak lama kemudian Ajeng mucul. Cengiran tulus iklas tanpa rasa bersalah dan berdosa terbit di wajahnya. Aku dan Imron hanya geleng-geleng kepala. Bukan Ajeng namanya kalau tepat waktu. 

“Ayo Pu... nanti telat. Nana udah curhat di BBM terus soalnya haha...”

Entah mengapa, aku ingin mencubit pipinya saat itu.

***

Kami mengawali perjalanan ini dari Museum Bank Indonesia.

Dengan tiket seharga Rp. 0,- alias gratis, kami memasuki museum pertama dalam penjelajahan Kota Tua kali ini. Terus terang, aku jarang ke museum. Belum banyak museum di Jakarta yang aku kunjungi. Dan museum Bank Indonesia ini harus menjadi agenda wajib bagi siapa saja yang ingin menjelajah Kota Tua. Tempat ini luar biasa bagus dan sangat terawat. Bukan cuma bangunananya, tetapi juga barang-barang peninggalannya. Semua tertata rapi dalam wadah kaca, menggoda siapa saja untuk melihatnya.

Dan disana, aku juga turut mengabadikannya gambar dirinya. Nantinya, kenangan ini pun akan kusimpan di dalam ”museum hati”. Ya, selamanya akan kujaga disana. Kuharap aku bisa.

Hujan semakin deras mengguyur begitu kami keluar dari museum Bank Indonesia. Perut mulai keroncongan. Dengan berlindung di bawah payung, kaki-kaki kami berjalan menembus hujan, menyeberangi jalan, melompati genangan-genangan air yang terdapat disana-sini. Tujuan kami selanjutnya jelas mencari tempat makan. Pilihan jatuh disebuah rumah makan padang di ujung jalan.

Sambil menunggu hujan reda dan Oneng tiba, kami mengisi perut yang kosong sekaligus numpang men-charge battery yang mulai lowbatt. Aku iseng memotret air hujan yang jatuh ke jalan. Sekitar 60 menit berlalu, hujan mulai reda, namun masih tidak dengan awan kelabu. Sinar matahari masih belum terpancar. Selayaknya perisai, awan kelabu itu sukses menjadi penghalang. Menyejukkan Jakarta dari sengatannya.

Di bawah gerimis...

Untuk kali ini aku setuju. Biarlah matahari rehat sejenak untuk menyinari ibukota yang selalu terik ia terpa. 

Meskipun itu hanya beberapa menit.

Oneng datang tepat setelah kami selesai makan. Tiba saatnya kami harus hengkang dan melanjutkan pengembaraan kami mengeksplore Kota Tua. Kembali kami harus menyebrangi jalanan yang becek. Tak mengapa, karena di ujung jalan sana ada toko penjual baju-baju dan souvenir. Aku selalu suka membeli cindera mata ketika tengah berada di objek pariwisata. Buatku, ini adalah bentuk dukungan untuk memajukan industri pariwisata kita. Selain membantu perekonomian warga sekitar tentu saja. Jadi, aku dan Imron memutuskan untuk mampir sebentar disana. Yang lainya tetap melanjutkan perjalanan.

Setelah melihat-lihat sejenak, akhirnya aku memutuskan untuk membeli celana pendek yang modelnya sangat ku suka. Harganya lumayan menguras kocek. Rp. 80.000,-.

Museum Sejarah Jakarta nan eksotik

Museum Fatahillah dari dekat.

Perjalanan kami lanjutkan menuju museum Sejarah Jakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan Museum Fatahillah. Inilah untuk pertama kalinya aku menyambangi salah satu sudut Kota Tua nan eksotik dari dekat. Bangunan tua yang sarat akan sejarah. Aku seperti terlempar ke masa lampau sekaligus tersedot ke masa depan saat mata kamera ini mengabadikan “alun-alun” Kota Tua dengan segala hiruk pikuknya. Mendadak saya teringat akan impian saya menuju benua biru, Eropa. Hujan rintik-rintik tak menghalangi saya untuk mengabadikan setiap moment yang ada. Malah hujan ini semakin membuat setiap gambar yang aku ambil jadi terlihat fotogenik.

Hanya dengan Rp. 1000,- kami bebas mengelilingi bangunan tua ini. Yang menarik dari museum ini adalah bangunanya yang menjadi icon dari Kota Tua. Pada tahun 1925-1942 bangunan bergaya neoklasik ini sempat menjadi kantor Pemerintahan. Namun pada tahun 1973 dialih-fungsikan kembali menjadi museum hingga sekarang. Puas mengelilingi museum ini, kami memutuskan untuk istirahat sejenak sambil menjalankan ibadah solat.

Di salah satu bangku taman, aku duduk sendirian. Memijat kaki yang pegal sambil  memulihkan energi yang telah terkuras seharian.

Satu alasan mengapa aku menyukai Kota Tua : aku merasa sedang berada di benua Eropa.

Setelah selesai solat kami bergegas pergi. Meski rasa lelah mulai menggelayuti kaki, namun kami masih mau melanjutkan perjalanan ini. Tujuan selanjutnya adalah museum Keramik. Tapi sayang, sepertinya hari itu bukan hari keberuntungan kami. Museum itu masih dalam tahap renovasi. Tak patah arang, kami pun melanjutkan ke Museum Wayang yang letaknya masih dalam satu kawasan Kota Tua.

Sebuah Senyuman.

Suasana di depan Museum Wayang.

Ada kejadian yang membuat aku sedikit naik darah terkait dengan pelayanan museum ini. Seorang wanita penjual tiket masuk museum bersikap tidak ramah terhadap pengunjung. Bahkan cenderung galak menurutku. Terutama terhadap kami. Aku tak tahu apa alasanya, tapi apapun itu, sikapnya ini sangatlah tidak profesional. Terlebih ini adalah industri pariwisata, dimana keramahan menjadi modal utama. Bahkan tersenyum pun tidak. Miris. Padahal bangsa kita dinobatkan sebagai bangsa paling murah senyum di dunia. Namun hari itu aku harus kecewa. Tak kutemukan senyum ramah itu disana.

Bahkan, ketika Inge membeli tiket, kami berdelapan “diperintah” masuk duluan oleh si wanita penjual tiket itu dengan nada yang sangat tidak bersahabat dan membuat kupingku gatal.

“YANG LAINNYA MASUK!!!” perintahnya. “BERAPA ORANG SIH MBAK???” sambil menghitung uang dan pasang muka jutek.

“Sembilan mbak...” jawab Inge sabar.

“KOK INI LEBIH DARI SEMBILAN ORANG???” dia nunjuk pengunjung di belakang Inge.

“Oh, yang itu bukan mbak” jawab Nana kalem.

“YAUDAH, MAKANNYA SAYA BILANG, YANG LAIN LANGSUNG MASUK!!!!”

Sampai disini, emosiku tak dapat dibendung lagi. Melihat tampang dan nada bicaranya yang menyebalkan, membuatku“gerah”. Aku hampir naik darah. Kutatap lekat orang itu. Berhenti sejenak untuk mengamatinya dari dekat. Tepat sebelum kakiku memasuki pintu masuk, dengan tenang kukatakan,

“Ramah banget pelayanannya...”

Nana langsung mendelikkan mata. Tak mengira aku akan mengatakan hal itu. Aku langsung buang muka, tidak mengindahkannya. Aku masuk tanpa banyak bicara. Diam sejenak adalah caraku untuk mengendalikan emosi sebelum menjadi-jadi.

Semoga saja hal di atas tidak menimpa pengunjung lain, apalagi turis asing. Bisa memalukan bangsa ini kalau hal itu sampai terjadi. Bagaimana pariwisata kita bisa maju kalau pelayanannya saja seperti itu? Semoga saja tulisan ini bisa menjadi kritikan atau pun masukan untuk meningkatkan pelayanan publik, agar industri pariwisata kita dan industri lainnya bisa lebih baik. Semoga.

Untuk museumnya sendiri, meskipun mungil namun koleksinya cukup lengkap. Hanya saja perlu ada renovasi disana-sini supaya museum ini semakin menarik hati para pengunjung. Bukan hanya bangunannya, tetapi juga pelayananya (terutama si penjual tiket masuk itu juga harus "direnovasi" sepertinya).

***

Kembali ke alun-alun Kota Tua.

Hari sudah beranjak sore. Kaki juga sudah lelah. Kami duduk-duduk di atas batu bulat yang aku sebut itu batu “Inti Julihaiyati”. Batu-batu yang tersebar di setiap sudut bangunan, mengingatkanku dengan pipi sahabatku yang satu itu. Buled. (pakai huruf “D” biar manteb). Diatas batu itu, kami asyik bercengkrama. Menikmati suasana senja diiringi musik dari musisi jalanan yang datang silih berganti.

“Bisa kere kita kalau seharian disini” celetuk Menk. “Pengamennya dateng tiap lima menit sekali...”

Aku tersenyum geli mendengarnya. Kami pun memutuskan untuk beranjak menuju destinasi berikutnya : es krim Ragusa.

Demi semangkuk es krim...

Sayang, Oneng harus kembali ke pekerjaannya menjadi baby sister dan menemani Shinta pulang duluan. Rintik hujan kembali mengguyur. Kembali aku mengeluarkan kamera, membidik orang-orang yang lalu-lalang di bawah payung dengan derai hujan sebagai latar belakang. Menarik. Eksotik.

Mungkin hanya kami, di tengah rinai hujan, baju basah dan juga kedinginan, yang rela menghabiskan senja di salah satu sudut toko es krim terkenal di Jakarta : Es Krim Ragusa. Bagiku, itu pertama kalinya aku mampir kesana dan mencicipi rasa es krim yang konon masih mempertahankan resep “jadul”-nya ini. Mengenai rasa, kalian harus mencobanya sendiri. Dan disana, kami menututup perjalanan hari itu dengan tawa bahagia.

Meski besoknya beberapa dari kami jatuh sakit, tapi kami telah menorehkan cerita disana.

Semangkuk es krim di cuaca dingin.
***

Sehari sebelumnya, aku mengirim pesan kepada sahabatku Destin.

To       : destinkentang
Destiiiiiinnnn... kaya raya. bsk nak2 pd mau k kota tua. Ikut y

Lama tidak ada balasan, sebelum akhirnya HP-ku bergetar dalam genggaman.

From : +6258111407xxx
Puh, ini w destin. Mank da acara pa Puh?

To : +6258111407xxx
Destin kaya raya, ini w Puhan Kyuhyun. Acara refresing abis UAS des. Pd stres tu anak2 kita. Skalian 
mrk pgn temu kangen ma lo, ibunya J 

From : +6258111407xxx
Hahaha...dsr lo, Puh. Brarti skarang w panggil lo Kyu j y :D Gw mw j c Kyu, tp g ngerti ksananya gmn..

To : +6258111407xxx
Hadeeeehhhhh -___-! Bu Destin, ini Jakarta. Disini, g da yg kamu kenal slain aku. Like this yo (iklan). Naek busway des, nak2 pd janjian d matraman jam 9. Kl g minta jemput oneng j. Pasti mw. Pa c yg g bwt lo des (preetttt)

From : +6258111407xxx
Hahaha...dsr korban iklan! Sapa j yg kut, Kyu? Oneng kan udah dkt dr sana..

To : +6258111407xxx
Menk, ajeng, inge, nana, vety, shinta, oneng dan 1 makhuk yg slalu ngintilin w : IMRON. Dan tentunya....GUEEEEEE.... ^____^

From : +6258111407xxx
Ywdah insyallah bsk w ikut....

***
Keesokan harinya, rabu, 11 Januari 2012.

From : +6258111407xxx
Puh gw g bs ikut :( w titip salam j y bwt nak2. Kpn2 w critain alesannya knp...

Aku menghela napas panjang, berusaha menelan kekecewaan karena sahabatku itu tidak jadi datang. Posisiku sudah di jalan menuju Matraman. Membatalkan acara karena Destin tidak jadi datang tentu bukan alasan yang bijak, mengingat teman-temanku yang lain sebagian sudah berada di lokasi. Perjalanan itu, tetap aku jalani meski tanpanya.

Hingga detik ini, sebagian dari kami tidak pernah tahu alasan mengapa Destin tidak jadi ikut serta hari itu.

Seandainya Destin ada, mungkin itu akan menjadi hari terakhir kami bersamanya. Setelah beberapa bulan setelah hari itu, Destin pergi. Ia harus kembali ke kota pelajar, tempat dimana ia berasal. Hingga hari ini, dan hari-hari ke depan, sosok bulat itu tetap kami rindukan.

Dia salah satu sahabat terbaik yang pernah kami miliki...

                                                                                              Bekasi, 22 Agustus 2012
                                                                                             23:34 WIB





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS