Mozaik mimpi di ruang G 305 Oleh : Waspuhan Muriadi Sudah lebih dari dua tahun aku menjalani serta mengalami pembelajaran luar biasa di ruang G305 yang bernama Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM). Teringat akan filosofi keramik atau keris yang harus menjalani serangkaian proses “menyakitkan” sebelum akhirnya mereka menjadi barang nan cantik lagi bernilai jual tinggi. Begitulah kiranya yang harus penulis dan semua LKM’ers jalani selama belajar disini. Seakan menekan tombol pemutar waktu, kenangan indah, pahit, manis, getir telah banyak masa terlewat hingga mengingatkan aku pada masa dimana aku mengenal LKM untuk yang pertama kalinya. Dua tahun yang lalu... Berbekal brosur dan keingintahuan yang mendalam tentang, “Apa itu LKM?” membawaku menuju gedung G lantai 3 no. 305. Asing. Begitu pikirku saat memasuki ruangan itu. Masih teringat jelas siapa orang yang pertama kali aku temui saat iu : Hamzah Ikhwal, yang dengan teliti dan sabar meladeni setiap pertanyaan yang terlontar dari bibirku perihal LKM dan segala isinya. “Apa tujuanmu dateng ke LKM?” tanyanya yang membuatku langsung tergagap. Kuputar keras otakku untuk menjawab pertanyaan yang –menurut sebagian orang terdengar sepele itu- singkat tapi sanggup membuat beberapa detikku lenyap dimakan waktu. Gamang. “Saya ingin belajar menulis cerpen, Kak,” jawabku akhirnya. Itu pun masih terdengar nada tak yakin dari suaraku. Aku memang suka membaca dan menulis cerpen, tapi entah kenapa aku merasa jawabanku terdengar konyol. Orang di depanku ini menelan ludah sambil berujar, “ Disini kamu bisa dapetin lebih dari sekedar menulis cerpen. Tapi LKM tidak bisa memberi jaminan kamu akan bisa menulis cerpen” Ada jeda beberapa detik, tampaknya ia tahu aku butuh waktu lama untuk mencerna kata-katanya. Melihatku terdiam ia pun melanjutkan, “LKM adalah wadah, media dan bakat atau minat kamu bisa ditempa disini.” Kepalaku mengangguk kecil sembari menerbitkan senyum kecil. Masih ada asa aku disini. Dan dengan membayar uang pendaftaran aku pun menguatkan tekat memasuki gerbang pembelajaran a la LKM. Membuat karya tulis ilmiah adalah pelajaran pertama yang aku dapat di LKM. Diteruskan dengan pembekalan menulis, berpikir kritis dengan diperkenalkan oleh tokoh-tokoh filosofi, dan materi public speaking. Bulan-bulan pertama terasa berat kawan. Tak kupungkiri aku hampir menyerah dan angkat kaki dari lembaga ini. Rutinitas yang seperti tiada henti ditambah waktu yang masih sulit kubagi antara kuliah dan kegiatan jurusan membuatku hampir terpelanting dari rengkuhan LKM. Beruntung aku memiliki banyak sahabat yang terus menguatkan aku untuk tetap bertahan disini, paling tidak hingg detik ini. Terima kasih BRAINER’s. Karena kalian kakiku masih berpijak disini. Namun entah sampai kapan aku sanggup berdiri tegak dan bertahan hingga titik puncak di tahun ketiga kita belajar di LKM. Mimpi itu masih ada kawan... Katakanlah aku bukanlah orang yang paling rajin terlihat di LKM, tapi entah kenapa ketika pintuk 305 itu kubuka yang terlihat adalah beberapa anak BRAINER ada segelintir anak PLATO. Entah apa yang terjadi hari-hari belakangan ini LKM terasa sepi. Ramadhan dan liburan bukan alasan untuk berproses di LKM kawan. Ketika masih ada sebagian besar anak PLATO yang enggan atau bahkan malu hadir di LKM, paling tidak hanya untuk beberapa menit meluangkan waktu mereka untuk menjenguk LKM, maka aku berpikir –tanpa bermaksud menyalahkan pihak tertentu- ada yang harus kita (BRAINER) renungkan untuk gimana caranya merangkul kembali adik kita PLATO dengan membangun tali emosional dan rasa memliki itu di hati aku, dia, mereka dan kita. Seperti yang kita lakukan, sharing bersama BRAINER’s untuk lebih mendekatkan satu dengan yang lainnya. Dan untuk PLATO, ada segumpal pertanyaan dikepalaku yang seperti peluru menunggu untuk ditembakkan, “Ada apa dengan kalian?”,“Adakah yang salah dengan kami –BRAINER- yang mungkin luput dan membuat kalian seolah enggan menginjakkan kaki untuk sekedar berebagi ilmu di lembaga penalaran ini?”. Maaf, mungkin terdengar bunyi sumbang penyalahan, namun bukan itu yang kumaksud. Aku mencari perenungan untuk dijadikan cermin. Semoga ke depan ada setapak jalan untuk kita –BRAINER dan juga PLATO- LKM’ers untuk berjalan bersama. Bukan digiring tapi beringinan, bukan dibebat tapi dijabat. Hingga akhirnya kita bisa mengunjukkan kepada generasi penerus LKM, bahwa kita organisasi yang tidak hanya hebat namun juga bersahabat. Semoga hari itu kan terwujud dan tidak hanya sekedar mozaik mimpi yang ada dianganku. Bekasi, 5 Agustus 2011 Pukul 02:45 WIB
06.05 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar