Oleh : Waspuhan “P’Shone” Muriadi
Aku duduk di depan meja belajar, persis mengahadap jendela yang sengaja kubuka lebar agar kubisa merasakan udara segar sekaligus memandang jauh ke luar agar penatku hilang. Akulah seorang penulis yang terbiasa duduk diam, di salah satu sudut ruangan ini sambil ditemani keremangan lampu malam dan kehangatan segelas kopi hangat untuk menemaniku terjaga. Dan juga ada kamu yang selalu berada di sisiku, saat kubuntu menemukan ide-ide untuk menghidupkan imajinasiku.
Kamu duduk di kasur. Aku duduk membelakangimu. Jemariku sibuk mengetik di atas keyboard komputer. Sejenak kuacuhkan kau sembari menatap layar komputer yang –terkadang- membuat mataku lelah, pedih dan perih. Waktu sudah menunjukkan tengah malam. Kutahu, dibalik bahuku, kau menatapku nanar, khawatir tubuhku akan tumbang sebelum ceritaku usai. Dan terimakasih untuk rasa itu.
“Kau sedang apa?” katamu dengan nada cemas. “Sudah lewat tengah malam. Apa kau tidak lelah?”
Kepalaku menggeleng lemah. “Aku sedang menulis sebuah cerita pendek. Kau mau membacanya?”
Kau bangkit dari kasur dan menghampiriku. Disebelahku ada kursi kosong, dan kau duduk disitu.
“Sang Musim...?[1] Ada empat cerita. Aku harus membaca yang mana?”
“Yang ini saja!” aku memilihkan salah satu cerita dari keempat cerpen yang kutulis. “Summer”
***
-Summer-
Aku berjalan di sepanjang tepi pantai berpasir putih. Hanya sendiri. Banyak orang disini, tapi rasanya sunyi. Mencoba menelusuri jejaknya yang mungkin tertinggal di pasir. Tapi ternyata ombak telah menghapusnya dari sana.
Lelah aku mencari. Bahkan bayangnya pun sudah menghilang diantara batu-batuan karang. Aku duduk dibawah pohon kelapa, berlindung dari sengatan sinar matahari yang bertengger diatas kepala. Kusandarkan punggungku di batangnya.
Hening…
Hanya deburan ombak serta desiran pasir yang kurasa. Hampa. Bahkan suara kicauan burung pun tak mampu mengusir rasa kehilangan itu dari lubuk hatiku. Dan fakta yang tak mampu untuk aku tutupi, bahwa…
Aku merindukannya.
Tepat setahun yang lalu Tya pergi meninggalkanku. Di musim panas yang seharusnya menjadi liburan kami yang menyenangkan, harus berubah menjadi kepedihan hanya dengan sebuah kata: perpisahan.
Masih segar dalam ingatanku bagaimana persisnya kejadian itu…
***
“Apa itu cerpen?”
Tanyamu tiba-tiba. Aku menoleh, memandang wajahmu dengan dahi keriting. Kupandang lekat wajahmu yang lugu itu. Kau hanya ingin mengetesku atau kau benar-benar tidak tahu? Batinku.
“Kau bisa melihatnya di KBBI atau mencarinya di Google.” jawabku.
“Aku ingin mendengarnya dari sudut pandangmu? Kau sering menulis cerpen, tapi apakah kau tahu pengertian cerpen itu sendiri?”
Aku terdiam sejenak. Memutar otak sembari merangkai kata di kepalaku. “Baiklah, akan kujelaskan dari kaca mataku...”
***
Hari itu Tya mengajakku kemari, ke pantai ini. Begitu sampai disini, seperti amphibi yang merindukan air, kami berlari menantang angin yang berhembus menampar wajah serta melawan kuatnya arus laut saat kaki kami menyentuh bibir pantai. Belum sempat membuka baju, Tya sudah tak sabar mengajakku berenang dan bermain air sepuasnya. Alhasil baju kami basah kuyup. Namun ada kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya, wajahku, wajah kita.
Matahari mulai beranjak keperaduannya. Sudah agak lelah, Tya mengajakku berjalan-jalan di sepanjang tepi pantai sambil mengeringkan baju. Semilirnya angin laut yang sepoi-sepoi membuai kami. Dan tanpa terasa kami sudah berjalan sangat jauh dari pusat keramaian.
Tya telah menuntunku ke tempat dimana sekarang aku berada.
Kusadari betul ada sesuatu yang sangat penting yang ingin Tya katakan, sampai harus mengajakku ke tempat ini. Tapi kutahan mulutku untuk tidak bertanya, dan kubiarkan Tya untuk mengungkapkannya sendiri.
Pandangan kami tertuju ke hamparan laut luas yang terbentang sejauh mata memandang. Menatap gulungan ombak yang saling berkejar-kejaran. Merasakan belaian angin laut yang menggelitik kulit. Semburat warna jingga matahari senja yang terpantul di permukaan air laut juga tak kami sia-siakan. Rasanya alam tengah memanjakan mataku kala itu.
Kulirik Tya dari sudut mataku. Ada yang berubah dari wajahnya…
Tya menghirup dalam-dalam udara pantai yang bersih dan menyegarkan. Tak lama kemudian ia menghembuskannya perlahan sambil memejamkan mata.
“Ari…,” panggilnya.
Aku menoleh ke arahnya. “Ya?”
Tya agaknya lebih suka memandang matahari yang sebetar lagi akan terbenam daripada menatapku. Pantulan sinar jingga memancar dari wajahnya. Meski sedikit menyilaukan, namun Tya enggan berkedip apalagi berpaling. Dari dulu Tya memang suka sekali dengan sunset.
“Tidak terasa dua tahun sudah kita menjalani hubungan ini…,” kau mengawali kata-katamu dengan subuah suara yang terdengar seperti rintihan di telingaku. “Dan selama rentang waktu itu pula, sudah banyak hal yang kita lewati bersama. Meskipun banyak orang yang menentang hubungan ini, tapi kita berhasil membuktikan pada mereka bahwa kita masih menyatu…”
“Kita sudah menjadi juaranya!”
Tya berhenti sejenak, menelan ludah untuk mengusir dahak yang menyumbat tenggorokannya.
Aku masih terdiam tanpa kata. Kepalaku mengangguk setuju. Itu semua benar. Apa yang di katakan Tya barusan tak satu pun yang meleset.
“Tapi sekarang… ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan padamu.” Tya menatapku lekat.
“Apa itu? Katakan saja!” ucapku tak sabar menunggu.
Biasanya Tya sengaja mengulur-ulur waktu untuk membuatku penasaran. Tapi kali ini, jika dilihat dari raut wajahnya yang muram, tak tepat rasanya jika aku menduganya demikian. Pasti ada hal yang sangat penting yang membuat ia sampai sebegitu ragu untuk mengucapkannya padaku.
“Ayahku sudah tahu tentang hubungan kita,” ujarnya kemudian. Ada kesedihan yang aku tangkap dari nada bicaranya.
Aku tetap membisu, karena kutahu masih ada kalimat selanjutnya yang ingin ia utarakan. Tapi belum-belum, hatiku sudah dirambati oleh perasaan sedih yang juga tak nyaman. Ada spekulasi-spekulasi yang tiba-tiba muncul di benakku. Dan itu justru membuatku takut.
“Ayah menyuruhku untuk berpisah denganmu dan menikahi seorang gadis,” lanjutnya, masih tak berani menatapku.
Dan ketakutanku itu akhirnya terwujud. Seketika aku gamang. Dari sini aku sudah mulai dapat gambaran akhirnya akan seperti apa.
“Dan kau setuju begitu saja?” tanyaku memastikan.
Mantap, Tya mengangguk. “Tak ada pilihan lain buatku. Dan kau pantas marah untuk itu!”
Aku tergagap, “Lantas… bagaimana dengaku? Dengan hubungan kita berdua? Dengan semua mimpi-mimpi yang selama dua tahun kita bangun? Apa kau tega menghancurkannya begitu saja?” tanyaku kalap. Tak kusangka Tya berani menghancurkan semua yang sudah kami bangun bersama.
“Mungkin sudah saatnya kita mengakhiri hubungan tak wajar ini. Sebelum kita terlanjur terjurumus ke dalam dunia fana yang selama ini kita agung-agungkan. Kita bisa membuka lembaran baru dan memulainya dari awal lagi…”
Aku menggelengkan kepala, tak percaya dengan semua kata yang kudengar, yang meluncur dari mulutnya barusan. Ia bukan Tya yang kukenal. Tya tidak mungkin berkata seperti itu.
“Terlambat…” tukasku. “Mestinya kau tahu, itu semua tak mudah bagiku…Kau adalah satu-satunya yang berharga buatku. Aku tak ingin kehilanganmu…”
Tya merangkulku dan meletakkan dagunya di pundakku. “Karena itu kau harus belajar untuk melupakan diriku dan menemukan seseorang yang benar-benar tepat untukmu, yang bisa melengkapi separuh jiwamu...
…dan itu bukanlah diriku”
***
“Jika Arif Budiman menjelaskan bahwa esai adalah perantara antara dunia ilmiah dengan cerpen, maka aku lebih suka menjelaskan bahwa cerpen adalah datang dari dunia imajinasi si penulis. Kita yang menciptakan dunia itu lalu kita tuangkan ke dalam sebuah alur cerita bernarasi. Sesuai namanya, cerpen –cerita pendek- tentu saja alur ceritanya tidak sepanjang kisah sebuah novel. Pendek saja asal makna atau pesan yang ingin kau sampaikan sampai ke pembaca. Cerpen mengandung beberapa elemen, seperti plot, sudut pandang, tokoh, dialog, konflik, setting dan suasana hati ” jelasku panjang lebar.
Kau diam beberapa menit. Mungkin otakmu berusaha mencerna apa yang baru saja kukatakan. Sampai pada akhirnya kau menganggukan kepala, dan mataku kini telah kembali menelusuri jalan cerita yang sempat terpotong oleh pertanyaanmu sendiri.
“Lalu, bagaimana kau menentukan sudut pandang dari setiap tokoh yang kau ciptakan?”
“Aku lebih suka menggunakan sudut pandang orang pertama, meski sebagian orang lebih memilih sebaliknya. Dan kau tahu, saat aku menulis dengan sudut pandang orang pertama, aku seperti larut dalam perasaan si tokoh yang kuciptakan sendiri...”
Kau tertawa hambar. “Dan bagaimana kau akan mengakhiri cerita pendek ini? Apa kau tega memisahkan mereka berdua?”
Aku tersenyum simpul. “Hmm...kau baca saja. Aku terlalu malas untuk menjelaskannya...”
***
“Apa semudah itu bagimu untuk melupakan aku?” tanyaku lirih.
Tya menggeleng pelan. “Tidak. Buatku itu juga sangat berat dan menyakitkan. Tapi aku harus melakukannya.”
“Tya…”
“Panggil aku Radit. Aku lebih suka kau memanggilku dengan nama itu,” titahnya sambil tersenyum simpul.
Apakah aku juga tak boleh memanggilmu dengan sebutan sayang itu lagi? Kataku dalam hati. Namun aku memutuskan untuk menurutinya.
“Baiklah. Radit…” ucapku kaku. Tak biasa dengan panggilan itu. “Apakah setelah semua ini berakhir, kau akan benar-benar menghilang dari kehidupanku?”
Wajahnya langsung pias. Radit tak mampu menjawab. Mulutnya terkunci rapat.
“Tolong jawab pertanyaanku!” tuntutku.
“Maafkan aku karena tak berhasil menepati janjiku,” ucapnya dengan sorot mata menyesal.” Aku tak bisa selamanya bersamamu. Aku telah menentukan pilihanku”
Luka itu kembali tersayat semakin dalam di hatiku. Perih. Namun tak banyak yang bisa kulakukan selain menahan air mataku agar tak jatuh. Aku tak ingin menangis untuknya –paling tidak bukan di depannya. Kepalaku tertunduk lemah.
“Kau boleh memilih jalan hidupmu sendiri setelah kita berpisah. Tapi aku tetap pada pendirianku. Aku ingin menjalani hidup yang aku punya sekarang. Dengan, atau tanpamu…”
Radit mendesah. “Apa pun keputusanmu, yang berhak menentukan itu adalah dirimu sendiri. Dan aku hanya bisa mendukungmu dari sini,” ia meletakkan telapak tangannya di dadaku.
“Baiklah kalau itu maumu…,” ucapku pasrah. “Kita berpisah saja”
“Tapi sebelum semuanya benar-benar berakhir, bolehkah aku meminta satu hal padamu?” aku memohon padanya.
Radit mengangguk dengan pasti. “Apa pun akan aku lakukan untukmu”
Aku tak kuasa lagi memandang wajah itu. Kupejamkan mataku karena perih menahan tangis. “Beri aku ciuman terakhirmu…,” pintaku tulus.
Kejadian selanjutnya yang kurasakan adalah sapuan lembut bibirnya yang mendarat di bibirku. Sekuat apa pun aku menahannya, tapi akhirnya air mata itu berhasil keluar dari sudut mataku. Dadaku sesak oleh perasaan sedih bercampur kehilangan. Rasanya seperti ada ribuan belati yang bersarang di hatiku. Perih dan ngilu.
Setelah ciumannya tak terasa lagi, aku masih belum berani untuk menatap kepergiaanya. Seperti ada beton yang mengganjal di pelupuk mata, yang membuatnya enggan terbuka. Hal terakhir yang kudengar adalah suara bisikannya,
“Selama aku akan membawamu dalam kehidupanku…”
“Ari… aku pergi!” pamitnya.
***
“Aku sudah menduganya. Pasti kau akan memisahkan mereka berdua. Huff...kau kejam.” Kau memberikan komentarmu, padahal kutahu kau belum menuntaskannya sampai bagian akhir.
“C’est la vie. Itulah hidup. Terkadang manusia memang harus menerima kenyataan, bahwa tidak semua yang kau inginkan, bisa kau miliki, bukan? Seperti dalam buku The Secret, dalam hidup kita hanya perlu meminta, percaya dan menerima. Itulah rahasia kebahagiaan hidup...”
“Tapi ini kan hanya ada dalam dunia khayalmu saja...”
Pundakku terangkat. “Bagiku, cerita ini merupakan bagian dari hidupku. Ia lahir dari buah pikiran yang tercipta dari rangkaian kata yang kutulis. Kau harus tahu, penulis ibarat Tuhan yang punya kuasa menentukan akhir ceritanya. Kau lanjutkan saja membaca untuk mengetahui akhir dari cerita cinta ini...”
***
Saat kubuka mata, matahari sudah condong ke barat. Sinar jingganya yang pilu mengingatkanku akan sosoknya yang mencintainya waktu senja. Bukan diriku. Namun di balik mataku, tempat air mata tak dapat menghapus bayangan itu, aku masih bisa melihat wajah rupawan itu tengah tersenyum padaku…
Cinta datang seperti cahaya matahari. Takkan mampu ditutupi, apalagi dihindari. Engkau bisa saja menggunakan payung, topi, jaket atau berlindung di bawah pohon untuk menghindari sengatannya. Tapi tetap saja engkau masih bisa merasakan kehangatan yang dipancarkannya.
Demikian juga rasa cintaku padamu. Meski terlarang, tapi aku tak dapat memungkiri bahwa hatiku telah terpatri oleh sosokmu. Walau kini bayangmu telah hilang tersapu ombak, tapi bagiku itu tak masalah, karena setiap hembusan angin laut akan terus membisikan namamu.
***
10 tahun kemudian…
“Ari…”
Aku mendengar bisikmu lagi dalam mimpiku. Namun, itu terlewat jelas jika di katakan mimpi. Lagi pula aku ‘kan tidak sedang tidur. Aku hanya memejamkan mata saja sambil menikmati santai sore di pantai ini.
Namun mataku masih enggan untuk terbuka. Aku takut ini benar-benar mimpi dan saat aku membuka mata nanti, bayanganmu kembali hilang ditelan ombak. Tapi mengapa… mengapa suaramu tak henti-hentinya memanggilku? Baiklah! Jika sekali lagi kau memanggil namaku, aku akan membuka mata.
Hening… sunyi… aku pasrah.
“Ari…!”
Senyum terbit. Cepat-cepat aku membuka mata. Dan benar saja, sosokmu telah kembali hadir dikehidupanku. Dengan wajah yang sudah lebih tua tentu saja.
Baru saja mulutku hendak terbuka dan meneriakkan namamu, namun aku urung melakukannya. Saat itu juga, kusadari bahwa yang kau panggil bukan aku, melainkan bocah kecil yang tengah membangun istana pasir di dekat bibir pantai itu.
“Ayah!” seru anak itu.
Kau menghampirinya. “Ayo pulang. Hari sudah sore. Lain kali kita main lagi disini,” bujukmu sambil mengulurkan tangan. Ari kecil langsung menyambutnya dengan patuh. Tak tega melihatnya jalan jauh, kau menggendong jagoan kecilmu itu di atas pundakmu. Ia tersenyum lebar.
Dari sini aku hanya mampu memandang nanar punggungmu dengan rasa haru menumpuk didalam dada. Kini aku paham dengan kalimat yang pernah kau ucapkan hari itu.
“Selamanya aku akan membawamu dalam kehidupanku…”
Dan itu terwujud melalui Ari yang kau hadirkan di tengah-tengah keluarga bahagiamu.
Raditya.
... terima kasih
***
Kau menghembuskan nafas panjang begitu kau sampai pada titik akhir. Senyummu mengembang. Ada pancaran bahagia yang kutemukan di wajahmu.
“Terima kasih...” ucapmu.
“Untuk apa?” aku sungguh tidak mengerti.
“Untuk tidak menghancurkan hatinya terlalu dalam. Tokoh Ari yang kau ciptakan sudah cukup menderita dengan masalah orientasi seksualnya, dan kau tidak memperparah itu dengan akhir cerita yang menyedihkan... ”
Mendadak, aku dikejutkan dengan suara derit daun pintu yang terbuka. Sembari mengucek mata dan memasang wajah waspada, Ibu datang menatapku dari ambang pintu. Matanya menyapu seluruh ruangan. Aku menatapnya bingung.
“Ada apa Bu?” tanyaku penasaran.
“Ibu seperti mendengar suara seseorang. Apa kau sedang berbicara dengan seseorang barusan?” alis ibu bertemu. Masih dengan wajah bingung, Ibu celingak-celinguk berharap menemukan seseorang di salah satu sudut ruangan ini.
Aku terdiam sesaat. Kutatap cermin yang menggantung di pojok ruangan ini. Kutatap bayanganku di cermin itu. Kulihat senyummu tengah mengembang, dan aku kembali menatap ibu sambil menggeleng, berusaha meyakinkannya bahwa tidak ada orang lain selain diriku –dan bayangku...
-Selesai-
[1] Kumpulan cerpen penulis, 2009. Judul aslinya “The Season”.
0 komentar:
Posting Komentar