Oleh : Waspuhan Muriadi
“Waktu. Begitu lamban melaju ketika kau diam menunggu. Bagai sekedipan mata saat bahagia menyapa. Seperti berhenti ketika kau jatuh hati.”
***
Bandara Soekarno-Hatta, 17 september 2012...
Pesawat yang akan membawaku ke Makassar mengalami keterlambatan 4 jam. Marah hanya akan membuatku makin lelah. Diam menunggu adalah pilihan terbaik yang ditawarkan tanpa ada opsi lain. Belajar dari pengalaman traveling ke Tarakan tahun 2011, aku selalu membawa buku bacaan guna mengantisipasi kejadian seperti ini. Di salah satu bangku ruang tunggu yang tak berpenghuni, aku menyendiri sembari mengusir sepi, membenamkan wajahku pada sebuah buku berjudul “Trave(love)ing”.
Terinspirasi dari buku itu, aku menjadikan perjalananku ini sebagai terapi hati. Sebuah misi yang kuemban tidak hanya untuk mendapatkan kawan, tetapi juga untuk meninggalkan –jika tidak bisa disebut melupakan- kananganku tentanganya selama berada disana.
Burung besi itu akhirnya datang. Dengan sayapnya, aku terbang melintasi gugusan pulau yang bisa kulihat dari angkasa. Beruntung aku mendapat tempat duduk di pojok, hingga bisa kulihat gumpalan awan yang mirip kembang gula tengah mengapung di udara. Senyumku mengembang seiring laju pesawat yang kian kencang.
Makassar, aku datang...
***
Aku tiba di Universitas Hasanudin tepat ketika mentari sudah terbenam. Senja itu kini tengah berganti malam. Perutku semakin kram karena sejak siang belum terisi makanan. Selain pelukan, jabat tangan, rangkulan atau saapan, sekotak nasi juga turut menyambut kedatanganku.
Jujur kukatakan, selain kenyang aku juga senang bisa melihat wajah-wajah yang selama ini hanya bisa kutatap melalu dunia virtual, kini hadir di depan mata dengan membawa kehangatan. Para sahabat yang –mungkin- hanya bisa bertatap muka sekali dalam setahun.
Dan kini, ijinkan aku tuk mengucapkan terima kasih kepada IMASPI. Organisasi yang telah membantuku menemukan keluarga baru.
Usai beristirahat sekitar satu jam, kami melanjutkan perjalanan ke Tana Toraja. Bus putih kecil yang aku tumpangi melaju, mengarungi malam yang melepas perjalanan kami dengan gerimis.
Di tengah perjalanan, di saat semua sebagian besar orang tengah terlelap dalam dekap malam, aku lurus menatap ke depan. Bahkan, meski jarak terbentang ratusan kilometer dari Jakarta, bayangannya masih tetap ada. Tidak semua orang mudah melepaskan ketika mereka sudah terlanjur sayang.
Dan aku termasuk salah satunya.
***
Selamat datang di Toraja.
Saat kubuka mata, aku melihat tulisan itu terpampang di atas sebuah jembatan, menandakan kami sudah memasuki kota yang terkenal dengan upacara kematiannya tersebut. Udara segar pagi hari menyelinap masuk melalui kaca jendela, membangunkan raga-raga yang lelah usai perjalanan sekitar 12 jam. Di hadapan kami, bentangan alam pegunungan serta sawah yang terhampar luas menjadi pemandangan yang benar-benar membuat mata berbinar. Tongkonan, rumah khas Toraja mulai terlihat disana-sini.
Bus berhenti sejenak di deretan pertokoan. Aku dan Fahmi, adik kelasku, langsung celingukan, mencari spot untuk mengambil gambar. Sebuah replika rumah adat menjadi simbol selamat datang dibangun di tengah perempatan jalan. Di sanalah kami mengabadikan poto sebelum akhirnya bus harus kembali melaju menuju peristirahatan kami selama di Toraja.
Kurang lebih satu jam, kami tiba di sebuah tempat dengan deretan Tongkonan berjejer rapi. Salah satu di antaranya menjadi tempat istirahat kami selama disana. Senang rasanya. Serasa hidup di tengah-tengah suku asli Toraja, di mana alat-alat elektronik (kecuali lampu) tidak kau temukan disana. Praktis, selama tiga hari kami tidak menonton TV. Tidak masalah. Sesekali tubuh ini perlu relaksasi, hidup harmoni dengan alam sekitar tidak ada salahnya, bukan?
Kapan lagi bisa menginap di Tongkonan, mandi di kali yang airnya jernih, atau sekedar menghirup udara sejuk khas pegunungan sembari menyeruput kopi Toraja di kala pagi. Buatku, ini adalah kenikmatan tersendiri yang patut aku syukuri.
Pagi itu, tanpa ganti baju dan hanya menggosok gigi serta cuci muka di kali, kami sarapan di bawah Tongkonan yang terdapat semacam bale-bale. Menunya memang sederhana, tapi ada kebersamaan yang membuat segalanya jadi terasa istimewa.
Canda tawa itu, senyuman itu, telah aku rekam dan kujadikan kenang-kenangan yang akan kubawa pulang.
***
Siang harinya, usai penyambutan di kantor Bupati Toraja, kami kembali ke tempat peristirahatan untuk makan siang. Setelah itu baru dilanjutkan dengan kunjungan ke sebuah perkampungan adat Toraja dengan deretan Tongkonan yang usianya mungkin sudah puluhan tahun. Namun sayang, minimnya perhatian pemerintah dalam melestarikan budaya dan objek wisata, kutemukan disana. Banyak bangunan-bangunanya yang sudah mulai rusak, lapuk dimakan usia dan kurang terawat.
Sore itu, kami kembali ke penginapan guna mempersiapkan pesta penyambutan serta refleksi IMASPI selama satu tahun kepengurusan. Karenanya, aku rindu pulau kapuk. Aku ingin rebahan dan tidur barang sejenak dengan tenang. Raga ini sudah terlalu letih untuk kembali berpetualang. Dan jiwa ini rindu sekali bebas lepas ke dunia khayal.
Mata ini terpejam, dan kuucapkan selamat datang pada dunia mimpi.
***
Makan malam digelar berbarengan dengan musik dan lagu khas Sulawesi Selatan yang mengalun merdu di tengah hawa sejuk malam. Pesta belum usai, tapi makan malam kami sudah. Kini saat refleksi IMASPI dimulai. Aku berdoa Riche, sahabatku dari UI lekas datang. Kami bertujuh sudah cukup sedih dengan ketidak-hadiran konjen (komisaris jenderal) dari UNY, UGM dan UPI. Jangan sampai kali ini UI absen.
Suara deru mobil terdengar saat acara hampir memasuki sesi terakhir. Ketika mata sudah mulai menyipit, mulut yang menguap lebar, dan badan yang sudah mulai lelah setelah seharian diajak menjelajah. Riche dan rombongan dari UI serta Gerry, mahasiswa dari UNIMA keluar dari mobil yang langsung kami sambut dengan hangat.
Acara kami lanjutnya hingga pukul 11 malam. Usai rapat, para konjen berkumpul, melepas rindu satu sama lain, di saat yang lain melepas rindu dengan kasur di kamar masing-masing. Kami mendiskusikan perkembangan organisasi dimana kami bernaung. Mengevaluasi kinerja yang masih kurang disana-sini. Tanpa terasa, dini hari menyapa dan kami terlelap dalam satu ruangan yang sama.
***
Salah satu momen yang paling berkesan adalah kunjungan sekolah di Toraja.
Tidak akan kulupa mata mereka, ketika melihat kami memasuki ruangan kelas dengan antusias tapi malu-malu. Wajah polos nan lugu, membuat aku tergagu. Mereka memperhatikan warna almamater kami yang warna-warni. Kata salah satu guru yang ada disana, para murid disini tidak terpikiran untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Masih dengan faktor yang sama : ekonomi. Jangankan untuk kuliah, makan saja susah.
Sungguh, hatiku terenyuh mendengarnya.
Di kelas itu, selain promosi tentang jurusan bahasa Perancis, kami juga memotivasi mereka. Kuharap mereka tahu dan mau memperjuangkan hak mereka sebagai warga negara : mendapatkan pendidikan.
Kunjungan kami singkat, tapi kuharap apa yang kami berikan –sekecil apa pun itu- dapat melekat.
***
Bus itu berhenti di persimpangan jalan.
Kami akan menghadiri acara Rambu Solo. Itu acara penyembelihan kerbau untuk upacara kematian di Tanah Toraja. Untuk menuju tempat upacara, kami harus mengambil jalan menanjak yang tidak bisa dilewati bus karena lebar jalannya yang sempit dan jalannya yang terjal. Jarak setengah kilometer dengan medan menanjak memang menjadi tantangan tersendiri. Di bawah matahari yang bersinar terang benderang, kami berjalan sempoyongan.
Aku nyaris dehidrasi. Salah sendiri minum kopi tadi pagi. Aku membatin dalam hati. Dan sialnya, aku lupa membawa botol minum.
Darah itu keluar dari leher sang kerbau.
Semua orang menyaksikan dengan terpukau. Ada yang mendekap mulut. Ada yang mengusap perut. Ada yang takut. Aku termasuk golongan yang terakhir. Meski demikian aku tak menghindar. Kucoba untuk tegar meski kemudian gagal total. Perutku berontak. Mual. Batinku tidak kuat meski setiap Idul Adha sering melihat pemotongan hewan seperti ini, tetap saja aku tidak siap tiap melihat nanar mata hewan itu saat meregang nyawa kesakitan.
Saat kembali ke bus, aku berkesempatan untuk berpoto bersama kerbau gendut nan lucu yang kebetulan sedang digiring si pemiliknya untuk di bawa entah kemana.
Bus kemudian meluncur ke tempat wisata Londa dan Ketekesu. Kedua tempat ini menyajikan tempat wisata yang sedikit menyeramkan untuk sebagian orang, yakni berhubungan dengan pemakaman. Uniknya terletak pada peti jenazah yang diletakkan di tebing-tebing batu atau goa, dan terdapat patung orang yang bersangkutan di sekitar peti jenazah mereka. Konon, lama-kelamaan, patung-patung itu akan semakin menyerupai wajah orang yang dimakamkan.
Oke, sampai disini aku sudah mulai sedikit merinding. Tapi di Londa, aku tergoda untuk masuk ke dalam goa yang gelap gulita dan penuh dengan tengkorak. Aku bergabung dengan sebuah rombongan yang terdiri dari 6-7 orang beserta pemandu yang membawa sebuah lentera guna menerangi jalan kami menelusuri perut goa.
Sementara, di Ketekesu aku cukup menelusuri tebing yang bertebaran dengan tulang-belulang, dan menolak dengan halus tawaran anak kecil yang mau memanduku menelusuri goa disana. Bukan apa-apa, kakiku sudah mulai lelah menapaki anak tangga serta perjalanan dari pagi hingga hampir menjelang petang.
Akhirnya kuputuskan untuk duduk-duduk di anak tangga sambil mengamati turis-turis asing yang berlalu-lalang. Menurut penuturan Pak Bupati, mayoritas turis di Toraja adalah dari Perancis. Mendengarnya aku langsung senang bukan kepalang. Pasalnya, bahasa yang aku kuasai selain bahasa Inggris adalah bahasa Perancis. Dan benar saja, beberapa kali kami bertemu dan berbincang sebentar dengan turis-turis dari negeri Menara Eiffel itu.
Sore itu, kami kembali ke penginapan dengan membawa bekal cerita yang kelak akan menjadi cerita di tanah kami berasal.
***
Malam hari, usai tarian Poco-poco kami disuguhkan dengan pesta perpisahan. Para panari telah dipersiapkan untuk menghibur kami malam itu. Seperangkat alat musik juga telah disediakan untuk siapa saja yang ingin –atau “dipaksa”- menyumbangkan sebuah lagu. Acara malam itu berlangsung cukup meriah.
Acara belum usai, namun sebagaian besar delegasi sudah mulai tumbang di kamar. Termasuk aku. Rasa kantuk yang luar biasa telah menghantarkan aku ke alam mimpi lebih cepat dari biasanya.
Keesokan harinya, saat hendak mandi, aku baru menyadari sandal gunung yang selama ini menemani hari-hariku berpetualang, telah hilang. Ternyata tidak cuma aku yang kehilangan sandal kesayangan. Teman-teman dari UNNES juga mengalami nasib serupa. Entah mau marah kepada siapa. Yang bisa kami lakukan hanya meratap kecewa, berharap Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Andai kehilangan dia semudah melupakan kehilangan sandal kesayangan, mungkin rasanya tidak akan seberat ini melepaskannya. Dan aku memetik pelajaran dari sini :
kita baru menyadari bahagianya bersyukur, setelah merasakan betapa sedihnya kehilangan.
***
Usai berbelanja oleh-oleh di Rante Pao, bus kembali meluncur kemana ia berasal : Makassar.
Dan kembali kami disuguhkan oleh panorama alam Toraja yang indah. Ada gunung yang membuat aku tersenyum geli. Namanya Gunung Nona. Bukan saja namanya yang bikin tertawa, tapi juga karena bentuknya yang mirip (maaf) dada wanita.
Bus sempat mengalami insiden kecil. Ban bocor di tengah jalan dan hampir tidak menemukan bengkel yang buka tengah malam, hampir membuat kami frustasi karena kelelahan. Perut mulai keroncongan dan badan mulai pegal-pegal.
Kulihat kelelahan itu tercetak jelas, tidak hanya peserta, tetapi juga panitia. Diantaranya, bahkan harus gantian berdiri karena bangku yang kurang memadai (atau kelebihan muatan?). Tapi yang pasti, salut buat mereka yang sudah bekerja keras dan mencurahkan segala tenaga serta pikirannya untuk kami, para delegasi.
Hormat kami para delegasi, untuk kalian para panitia Multikom IMASPI.
Tibalah kami di asrama mahasiswa UNHAS pukul dua dini hari. Aku langsung menuju kamar dan membaringkan badan usai mematikan lampu. Kini saatnya tidur karena beberapa jam lagi kami akan bertarung di semua perlombaan yang diadakan hari itu.
Sorenya, kami bersepeda berkeliling kampus UNHAS yang sangat luas ini. Sebuah program dari kampus untuk mendukung “Go Green” dengan menyediakan layanan sepeda gratis merupakan tindakan konkret yang menurutku patut diapresiasi dan dijadikan contoh. Semoga UNJ kelak akan meniru jejak UNHAS agar UNJ (yang maha "imut" itu) semakin hijau. Bukan karena almamaternya, tetapi karena lingkungannya yang benar-benar hijau dan asri. Mengurangi jumlah kendaraan bermotor dan menyediakan lebih banyak lagi taman agar menjadi tempat yang nyaman.
Salah satu kegiatan IMASPI adalah mengadakan bakti sosial. Sore itu kami mampir ke perkampungan kumuh, dimana terdapat sekolah “darurat” yang didirikan oleh mahasiswa UNHAS untuk membantu anak-anak disana mengenyam pendidikan. Sebuah langkah kecil yang bisa kami lakukan untuk sebuah awal mimpi mereka yang besar. Indahnya berbagi, kami jadi mensyukuri apa yang telah kami miliki sekarang.
Selesai dari sana, kami kembali mengayuh sepeda, melanjutkan tour kampus dan berhenti di tepi danau. Disana kami menikmati pisang ijo sembari menatap langit jingga dengan matahari yang kian meredup.
Dengan berkumandangnya suara azan, kaki kami melangkah pulang.
***
Meski sedikit tidak enak badan, mendengar kata pantai, semangatku pulih kembali. Kali ini pantai Losari yang akan aku sambangi. Tidak sabar rasanya menikmati matahari terbenam dari sana.
Namun agaknya aku harus bersabar, karena tour hari ini kami mulai dengan wisata kuliner, yaitu Mie Titi. Jangan bayangkan mie dengan kuah kental dengan bumbu pedas layaknya iklan-iklan di TV. Ini adalah mie kering, yang digoreng lalu disiram dengan kuah daging. Rasanya enak, tapi buatku seperti makan cemilan lidi-lidian kalau di Jakarta. Mirip.
Destinasi selanjutnya adalah Fort Rotterdam atau benteng Rotterdam. Benteng ini terletak dekat tepi pantai. Bangunan peninggalan Belanda ini mirip Kota Tua di Jakarta. Hanya saja yang ini sudah mengalamai renovasi. Koleksi museumnya sangat terjaga dengan bagus. Tamannya yang indah dan rapi semakin mempercantik Benteng ini.
Setelah bersitirahat sambil menikmati es kelapa di pinggir jalan, kami melanjutkan dengan wisata belanja. Kali ini kami dibawa ke sebuah toko yang menjual barang-barang khas Makassar. Dari sekian barang yang dijajakan, aku tertarik untuk membeli sambal saos khas Makassar. Mungkin terdengar agak aneh. Jauh-jauh kemari cuma beli sambal saos yang mungkin bisa kau temukan di Jakarta.
“Dipercepat ya belanjanya. Kalau tidak, kita tidak bisa melihat sunset di Losari...” ujar salah satu dari panitia.
Aku memutuskan untuk keluar dari toko setelah sekantung belanjaan sudah di tangan. Uang 100 ribu melayang. Tapi hati senang. Langkahku ringan, menuju Losari yang kian indah kala matahari akan tenggelam.
Tunggu aku, sebelum ragamu lenyap di balik Cakrawala jingga di ufuk sana.
Debur ombak, semilir angin pantai, serta hiruk pikuk membuaiku yang tengah duduk di tepi pantai. Awalnya beramai-ramai. Lalu kemudian menyepi. Tinggalah aku sendiri. Menatap lurus ke depan, dimana si bola api akan segera pergi. Memandangnya aku nyaman. Menatapnya aku tenang.
Hingga kusadari, sekembalinya dari sini, aku harus bisa melupakanmu.
Aku diam. Ketika jarak jauh terbentang, disitu aku sadar, bahwa aku sudah terlanjur sayang. Aku kemudian menuliskan sebuah catatan kecil di HP.
Bisakah kita memulainya dari awal? Saat rasa itu belum ada. Ketika jarak itu belum tercipta. Tatkala hati belum ternodai oleh jiwa yang tak ingin sendiri. Sepi.
Tapi... pada akhirnya nanti, mau tak mau, aku harus mengiklaskan. Karena nanti, kita akan berjalan sendiri-sendiri. Dengan sebuah doa yang kupanjatkan, kuucapkan selamat tinggal untuk semua kenangan. Aku sepakat mengakhiri hubungan yang bahkan belum sempat kita mulai. Aku hanya ingin berkata,
“terima kasih kau telah mampir ke hati ini.”
Matahari itu telah tenggelam. Rasa itu belum sepenuhnya padam. Api telah tiada, namun bara masih menyala. Membuka hati adalah cara terjitu untuk diisi dengan hati yang baru. Bila tak kutemukan kini, mungkin nanti. Saat hati sudah siap untuk diisi kembali. Hingga hari itu tiba, ijinkan aku untuk jaga jarak. Usahlah kita bertemu kalau perasaan itu tak juga beku usai melihatmu.
“Puhaaaan... kemari!”
Telingaku menangkap sumber suara dari arah kiri. Gerry melambaikan tangan, menyuruhku mendekat. Aku menghampiri para mahasiswa UNIMA itu dengan langkah kaki kecil. Semakin kencang seiring jiwa yang telah lapang.
“Han...sendirian aja?” Danny menyapa ketika tak sengaja aku berpapasan denganya.
Kepalaku mengangguk pelan. “Lo sendirian juga?”. Kali ini gantian ia yang mengangguk. “Come on Dan. C’est la vie. Udah saatnya move on hahaha...” aku meledeknya yang sebetulnya adalah sindiran untuk diriku sendiri.
Danny hanya tersenyum getir. Apa ia juga sudah bisa move on dari oknum "R"? Hanya Danny yang tahu jawabnya. Aku melambaikan tangan padanya, lalu pergi menghampiri Gerry dan kawan-kawannya sebelum Danny menimpali.
Nama tempat makan itu Coto Gagak.
Kami menyantap hidangan makan malam dengan menu khas Makassar : Coto. Terdiri dari semangkuk kecil Coto daging, taburan bawang goreng dan daun bawang, serta ketupat. Semuanya serba ukuran mini, tapi aku dan Yudis menyerah usai menghabiskan ketupat yang kedua. Hanya Danny dan Muis yang nambah satu porsi lagi. Apri geleng-geleng kepala.
“Siapkan perut untuk ronde kedua.” kata Apri. What? Apa lagi? Sungguh, perutku sudah penuh. “Masih ada pisang Epe.” lanjutnya.
Dan di sebuah sudut pinggir jalan, tempat dimana pisang epe itu berada, kami bercengkrama sebelum kembali ke kampus untuk merayakan pesta penutupan. Malam terakhir di Makassar, pikirku. Sedih juga mendapati kenyataan besok pagi pesawat harus membawaku kembali ke rutinitas Jakarta. Inilah realita.
Kami tiba kampus tengah malam. Sepi. Namun di salah satu sudutnya terdapat keramaian dengan gelak tawa dan gegap gempita menanti pengumuman lomba. Dan rasa bahagia itu membuncah, saat satu per satu delegasi menyabet gelar juara. Yang paling tidak kuprediksi dan kuantisipasi adalah : UNJ meraih juara umum.
Dan majulah kita sebagai pembuka di acara penutupan itu. Rasa senang bercampur bangga melekat dalam dada. Piala besar itu terangkat tinggi ke udara. Dan pertanyaannya kemudian : bagaimana membawa piala segede ini ke Jakarta?
Pukul 3 dini hari kami acara usai. Kami melangkah ke Ramsis dengan gontai. Tiga jam lagi aku sudah harus ke bandara. Melihat kondisi mereka yang baru tidur subuh, aku jadi tak tega membangunkan mereka hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku hanya mengirimkan pesan singkat. Yang intinya :
... aku pamit, sampai berjumpa tahun depan.
Bekasi, 1 Oktober 2012
00:55 WIB