Malam Terakhir di Paris van Java


Oleh : Waspuhan Muriadi

"Suatu hari, ketika kita kembali kemari, jangan pernah lupa.
Ada kisah yang sempat kita toreh di kota ini..."

Apakah perpisahan itu ada atau hanya sebuah kata? Kalau benar adanya, maka aku lebih suka menyebutnya sebuah awal dari pertemuan yang baru. Seperti dua sisi mata uang. Sudah hukum alam. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Dua hal yang tak mungkin terhindarkan. Kita tinggal menjalankan dan menunggu kapan hal itu akan terjadi, tanpa tahu pasti.

Tapi dari perpisahan, aku juga banyak belajar tentang proses menemukan.

***

Tahun 2009...

Masa tiga tahun terasa begitu cepat berlalu. Sepertinya baru kemarin aku mengenakan pakaian putih abu-abu, tapi kini, aku harus mencopot atribut itu karena sudah bukan lagi murid SMU. Tepatnya nanti malam, kami akan merayakan pesta kelulusan yang diadakan di salah satu hotel di kawasan Lembang, Bandung.

Masih teringat jelas suasanya pagi menjelang keberangkatan kami ke kota itu. Langit melepas kepergian kami dengan gerimis. Cakrawala seperti menangis. Aku duduk paling pojok, menikmati guratan-guratan air yang tersaji di kaca jendela tanpa banyak kata. Bus mulai melaju. Di pojokan itu, aku terdiam membisu.


Mendadak, aku tak ingin semua ini berlalu.

Tawa ceria serta riang canda di dalam bus yang membawa kita ke kota kembang.

Kunikmati perjalanan menuju kota Bandung dengan lebih banyak terdiam di tengah ingar-bingar teman-teman yang melepas penat sehabis ujian. Wajar bila mereka ingin merayakan. Kebebasan. Beban bagai terlepas dari pundak. Kini saatnya merilekskan otak. Semua merayakannya dengan caranya masing-masing : bernyanyi, main gitar, mendengarkan musik, bercanda gurau, membaca buku atau tidur.

Aku termasuk golongan yang terakhir.

***

Tak terasa bus yang kami tumpangi sudah sampai di area parkir hotel. Begitu sampai, aku langsung mencopot kacamata hitamku yang langsung tergantikan dengan hijaunya pemandangan sekitar. Rasanya, tak sabar ingin turun dan menikmati udara segar kota kembang. Dan benar saja, begitu turun dari bus, hawa sejuk khas pegunungan langsung menyapa. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Semuanya tampak hijau dan asri. Aku jadi teringat akan desa ibuku yang permai seperti ini : Bumiayu. Desa yang selalu menawarkan kerinduan untuk segera kembali pulang ke kampung halaman.

Tak sengaja, aku melihat dia. Tatapan kami bertubrukan selama sekian detik sebelum akhirnya ia menundukkan kepala. Entah karena malu atau perasaan itu masih jua beku?

Sore itu, kami melakukan gladi resik di hall tempat acara perpisahan akan berlangsung nanti malam. Beberapa orang merapikan meja dan kursi, sebagian mendekorasi panggung. Tak jauh dari situ, empat orang temanku tengah sibuk latihan untuk menjadi MC. Aku sendiri langsung bergabung dengan tim paduan suara untuk take vocal. Kami latihan dengan serius, mengingat, inilah persembahan terakhir untuk para guru-guru kami sebelum melepas kami pergi.

***

Senja kini berganti malam. Tepat pukul 19:00 pesta perpisahan dimulai. Para pria tampak gagah berbalut setelan jas yang tampak menawan. Sementara para wanita terlihat sangat cantik dengan balutan kebaya yang dipadukan dengan kain batik sebagai bawahannya. Riasan wajahnya tidak berlebihan namun tetap sedap dipandang.

Asal kalian tahu, kalian adalah bidadari malam itu...

Aku mencari sosoknya diantara mereka. Tidak perlu waktu lama, karena aku telah menemukannya. Masih seperti dulu. Mendadak, aku kangen wajah lugu itu...

Acara dimulai dengan sambutan dari kepala sekolah serta pelepasan secara simbolik, bahwa kami dinyakatan lulus dari SMA Negeri 12 Bekasi. Sekolah yang dulu sempat aku benci, tapi kini aku cintai. Tak lupa beliau memberikan beberapa pesan dan kesan sebelum melepas kami pergi. Suasana haru mulai tercipta. Namun belum ada air mata yang jatuh sampai pada akhirnya saat itu tiba.

Seluruh hadirin dipersilahkan berdiri oleh sang MC. Berbaris rapi dan berjalan mengekor, menyalami guru-guru kami satu per satu dengan rasa sedih bercampur rasa terima kasih. Tangis itu akhirnya pecah. Suasana haru tercipta dengan sendirinya.

Kami, para tim paduan suara mengiringi acara salam-salaman itu dengan emosi yang sebisa mungkin kami tahan. Suara hampir tercekat. Dada mulai sesak. Lagu “Himne Guru” mengalun di udara dengan kidmat. Kami menyanyi dengan sepenuh hati. Pada bait terakhir, air mata itu akhirnya meleleh, membasahi pipi kanan dan kiri.

Kami segera masuk ke dalam barisan. Mengantri untuk sekedar mencium punggung tangan guru-guru kami. Mungkin ini untuk yang terakhir kali. Sebuah salam perpisahan yang akan selalu terngiang dalam ingatan. Kelak, kami pasti merindukan nasehat, bimbingan, omelan, cubitan dan juga kasih sayang mereka. Aku percaya itu.

Untuk Bapak dan Ibu guru, terima kasih...

Foto bersama kepala sekolah, Ibu Eko dan Wali kelas, Ibu Rini.

(Bu Eko, Bu Rini, Bu Nia, PaK Tarno, Pak Rahmat, Pak Camdan dan seluruh guru SMAN 12 Bekasi, salam hormat dan rindu dari kami. Semoga, masih ada waktu yang akan mempertemukan kita kelak. Amin).

Usai bersalam-salaman dengan para guru, kini saatnya bersalaman dengan teman-temanku. Kami saling berangkulan, berpelukan, tertawa, saling mengusap air mata atau berpoto bersama. Kami berjanji untuk menjaga silaturahmi meski hari-hari ke depan tidak bisa lagi setiap hari berinteraksi. Esok, kami akan berjalan sendiri-sendiri.

Menentukan, mau kemana setelah ini.

***

Aku hendak berjalan menuju kamar sebelum akhirnya langkahku terhenti ketika seorang teman memanggilku. Fisti namanya.

“Han, ada yang mau bicara sesuatu sama kamu... “ katanya.

Aku melihat ke arahnya. Dia berdiri tepat di belakang Fisti. Matanya berkaca-kaca. Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya kepalaku mengangguk perlahan. Fisti memberi ruang untuknya mendekat ke arahku.

Aku menatapnya lekat. Kenangan 30 hari bersama dirinya masih begitu melekat. Rasa sakit hati karena perpisahan itu seperti berkarat. Pagi itu, ketika kami memutuskan untuk tidak lagi bersama, jarak itu mulai ada. Kami bagai kutub selatan dan utara. Perlahan, kami mulai menjauh.

Tapi malam itu, kurasakan tembok yang menjadi pemisah diantara kami perlahan mulai runtuh dengan sebuah kata maaf.

“Maafin aku...” ucapnya lirih, menahan tangis yang coba ia tahan namun gagal. Buliran air mata itu jatuh satu-satu.

Malam itu, aku dan dia mulai menghidupkan kembali percakapan yang setelah sekian lama mati suri. Kebekuan diantara kami perlahan mencair. Untuk pertama kali kurasakan hangat kulitnya ketika tubuh kami saling mendekap, erat. Tak akan pernah kulupa lelehan airmata itu ketika wajahnya mampir di pundakku. Cukup sekali saja rengkuhan itu, sebelum akhirnya pelukanku mengendur, melepasnya perlahan dalam diam. Hanya 30 detik tubuh kami saling terkait, namun itu sudah lebih dari cukup untuk meruntuhkan batas yang ada.

Tanpa ada kata, aku tahu hati ini telah memaafkanya...

Terima kasih kau telah menjadi bagian dari perjalanan hidup ini. Meski itu hanya 30 hari...

***

Kami tiba di Bekasi sekitar pukul delapan malam. Sepanjang perjalanan, kuperhatikan sahabatku Nurdiana tak banyak bicara seperti biasanya. Ia lebih banyak diam. Kutahu, di hatinya tersimpan sedih. Air mata itu berlinang bukan pada malam perpisahan, tapi justru sekarang. Saat kami masing-masing kembali pulang.

Aku mencoba memahami posisinya. Sama seperti kita, ia pun  merasakan hal yang sama. Rentang waktu tiga tahun telah banyak menorehkan cerita disana. SMA kita tercinta.  Mana mungkin semuanya bisa hilang dalam semalam? Tidak sedikit pula cerita yang kulalui dengannya.

Hampir setiap sore, kami naik kereta dari stasiun Bekasi menuju stasiun Tambun demi rupiah yang harus kami simpan untuk esok hari. Stasiun Bekasi menjadi saksi, aku, Novi dan Nurdiana pernah duduk kebasahan menunggu kereta tiba dan hujan reda. Atau sekedar menatap warna jingga ketika senja tiba. Di sana pula aku pernah kehilangan jam tangan. Nurdiana kehilangan tas berharganya. Tapi dari Novi, kami temukan penggantinya : sahabat. Wahyu dan Hendi. 

Kami bagai lima serangkai yang tak terpisahkan. Berbagi segalanya dalam kesederhanaan.

Di suatu senja, kami pernah berkelakar. Jika suatu hari nanti kami ingin kembali ke stasiun ini lagi hanya untuk mengenang apa yang pernah kami lalui bersama di sini. Keinginan itu belum sempat terwujud hingga kini. Kuharap, masih ada kesempatan yang akan mempertemukan kami suatu hari nanti. Aku percaya, hari itu akan tiba. Entah kapan pastinya.

Namun setelah hari itu, mungkin kami akan merindukan suara mesin kereta. Berdesak-desakan dengan penjual dan penumpang kelas ekonomi lainnya. Kelaparan dalam himpitan orang-orang dan juga guyur hujan. Atau, matahari senja yang akan terbenam di ujung rel sana, tempat kereta yang akan membawa kami pulang, datang.

Dan tibalah aku di akhir cerita. Hingga detik ini, aku selalu rindu moment-moment sederhana itu bersama mereka.

Tidak perlu menunggu nanti, sekarang pun aku merindukan canda-tawa seperti ini.

                                                                                               Bekasi, 20 Agustus 2012
                                                                                              23:38 WIB

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar