Memories of Jogja (Part II)


 Aku selalu percaya keajaiban itu ada.

Jogja, aku kembali. Kali ini aku tak sendiri. Aku bersama dua sahabatku Ria dan Rungky. Bertiga, kami ingin menghabiskan malam tahun baru di kota ini. Tapi kami tak naik kereta api, tiket sudah terjual habis. Terpaksa kami naik bis. Tidak, kami menyebutnya “kulkas berjalan” saking dinginnya AC di dalam bus meski telah kami matikan. Sepanjang perjalanan kami hanya duduk meringkuk di balik selimut. Bahkan aku harus menutup kepalaku dengan sarung bantal karena tak kuat menahan dingin yang menerjang.

Keesokan paginya, kami tiba di Jogja dengan penuh ceria. Lagi-lagi kami harus berhutang budi kepada Maman yang telah bersedia mencarikan kos-kosan mini untuk kami tinggali selama liburan tiga hari. Kamar kos itu letaknya tepat disamping kamar kos-nya. Dengan biaya Rp. 50.000,- selama tiga hari. Harga segitu sangatlah murah bila dibandingkan dengan harga hostel yang sedang melonjak menjelang tahun baruan.

Pagi itu, Maman melihat keletihan yang tercetak jelas di wajah kami pasca perjalanan panjang itu. Ia merelakan kamar kos-nya untuk menjadi tempat peristirahatan kami. Awalnya sih untuk sementara, namun karena kamar yang kami sewa tidak menyediakan fasilitas kasur –iya, murni hanya kamar tok-  jadi kami menumpang di kamar Mamen selama tiga hari kami disana. Maman sukses “tergusur” dan dengan legowo, penuh iklas tidur di kamar temannya. Sempat tak enak hati, tapi ia meyakinkan kami bahwa itu bukanlah hal yang patut untuk di besar-besarkan.

Suasana kamar kos Mamen yang nyaman.

Kebaikannya tidak hanya sampai disitu saja, bahkan ketika siang harinya kami hendak pergi ke Parangtritis, Ia bela-belain meminjami kami motor untuk menghemat biaya transportasi. Namun kami menolak, dengan alasan tak ingin merepotkan. Sudah terlalu banyak kebaikan yang ia lakukan sampai kami tak tahu harus membalasnya dengan apa. Dipinjami kamarnya saja, itu sudah lebih dari cukup buat kami bertiga.

Akhirnya ia menyerah juga memaksa kami untuk mengendarai motornya –dan juga motor temannya. Karena hari itu ia berhalangan manemani kami ke Parangtritis karena masih harus kuliah, ia memberikan kami petunjuk untuk menuju kesana.

***


Mengejar angin.

Mereka berdua bagai kura-kura yang mendamba samudera.

Begitu tiba di pantai Parangtritis kami langsung menunju bibir pantai, berlalri kecil, melawan hembusan angin yang menerpa wajah dengan tangan terentang bagai pasrah. Aku berjalan santai, mengamati tingkah polah mereka sambil sesekali mengambil gambar.

Sore itu awan berwarna kelabu. Namun tak sampai turun hujan. Suasana ramai karena ini sedang musim liburan, tidak seperti suasana pertama kali aku kemari. Kuedarkan pandanganku mencari objek yang menarik untuk kubidik dengan lensa kamera. Dan di pantai itu, kutemukan cinta bertebaran disana-sini. Wajar bila aku kemudian iri.

Ada sepasang muda-mudi yang tengah asyik bercengkrama di bibir pantai. Tubuh keduanya basah. Dan tampak lelah. Mungkin itu sebabnya hingga kemudian mereka berdua memutuskan itu duduk sejenak, memberi jeda tanpa terganggu meski ombak sering kali datang menerpa. Dunia serasa milik berdua.

Parangtritis yang romantis.

Pemandangan itu sontak menyedot ingatanku ke masa lalu.

Mendadak, aku teringat dia. Saat SMP dulu, kami merayakannya pesta perpisahan di pantai Anyer. Suasana kurang lebih seperti ini : ramai. Semua merayakan pesta kelulusan dengan gegap gempita. Namun tidak denganku. Mendapati kenyataan bahwa esok kita tak lagi bersama, apakah itu bisa membuatku lantas tersenyum bahagia? Di saat semua orang bercanda gurau di dekat bibir pantai atau sekedar menikmati alunan musik dekat bale-bale, aku malah menjauh diri dari keramaian. Bersama kedua sahabatku Umi dan Ayu, kami mencari tempat sepi, menyendiri. Berjalan menelusuri bibir pantai hingga tiba di ujung tepi karang. Disana kami menghabiskan siang itu bersama dalam diam. Mencoba mengenang apa yang sudah terjadi selama tiga tahun kebelakang.

Setelah ini lantas apa? Aku bertanya dalam hati.

Kutatap deburan ombak yang datang bergulung-gulung dengan wajah bingung. Masih belum kutemukan jawabnya. Esok, segalanya akan berubah. Kami berpisah.

Benar bahwa aku dan dia hanya sekelas selama setahun. Namun rasa cinta tidak bisa diukur dengan hitungan waktu. Sampai detik ini, rasa itu masih ada. Hanya kadarnya saja yang berbeda. Kami telah sepakat, bahwa persahabatan tak selayaknya dinodai oleh cinta yang tak semestinya ada. Ah, aku benci dengan kata-kata itu, tapi begitulah adanya. Kami adalah teman.

“An, tolong potoin dunk,”

Suara Ria medadak menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh kearahnya yang kini sudah duduk manis di atas pasir yang sudah ia tulisi dengan tulisan “Mardiko”. Aku hanya tersenyum simpul dan kemudian mengambil beberapa gambar dirinya yang tengah tersenyum bahagia. Tanpa kata, aku tahu gadis ini tengah merindukan kekasihnya yang tengah berada di Bali.

Dan aku sadari, aku pun sangat merindukan sosok manis itu hadir kembali dalam hidupku.

***

Konsekuensi yang harus kami ambil ketika berlibur di musim liburan adalah kelonjakan semua harga dan membludaknya manusia. Hampir seluruh tiket transportasi mengalami kenaikan, begitu juga tiket masuk ke objek wisata. Belum lagi kita harus berhimpit-himpitan di bus yang mini dengan penumpang yang mayoritas adalah turis. Tujuan kami hari itu adalah Borobudur.

Suasana ramai di Candi Borobudur.

Impian untuk mengunjungi situs sejarah itu sudah tertoreh sejak lama. Mungkin ketika aku melihat gambarnya di sampul belakang atlas. Saat itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Salah satu dari tujuh keajaiban dunia ada di Indonesia. Ada perasaan bangga ketika bangunan candi yang megah itu dapat bersaing dengan menara Eiffel yang cantik, atau Tembok Besar Cina yang termasyur itu. 

Dan begitu aku melihat bangunan itu untuk pertama kalinya, satu hal yang aku ucapkan : syukur. Meski suhu udara saat itu sangat panas, namun tak melelehkan semangatku untuk mengabadikan setiap moment yang ada disana. Aku menikmatinya. Bahkan meski matahari semakin terang berpendar, dehidrasi mulai menyerang, kaki mulai pegal, tapi jika berada di tempat yang telah lama kita idam-idamkan, maka semua itu tidak jadi soal. Sungguh.

Sebenarnya alasan mengapa aku senang mengunjungi tempat wisata di Indonesia adalah aku tidak ingin “kalah” dengan orang asing. Banyak teman atau orang asing yang aku temui di jalan bercerita bahwa mereka pernah mengunjungi ini dan itu. Aneh saja rasanya, kita sebagai warga Indonesia kok malah tidak pernah ke tempat yang dimaksudkan sii turis asing tadi. Karena Indonesia bukan sekedar Bali. Maka mimpiku adalah mengunjungi setiap provinsi di Indonesia, agar kelak, jika aku diberi kesempatan untuk pergi keluar negeri, aku bisa bercerita banyak tentang negeriku tercinta ini.

Sesederhana itu.

Aku sadar sepenuhnya dunia pariwisata kita masih tertinggal jika dibandingkan dengan negeri tetangga. Tapi saya selalu meyakini, kita bisa mendukung kemajuan pariwisata kita dengan satu langkah kecil : berpartisipasi. Caranya, kunjungilah tempat-tempat wisata yang masih jarang di kunjungi wisatawan, lalu share di social media (Facebook, twitter). Tindakan sederhana semacam ini saya yakini mampu meningkatkan geliat pariwisata kita. Satu langkah kecil yang akan berdampak besar bila dilakukan bersama-sama.

Wisata kami di Borobudur kami tutup dengan berbelanja pernak-pernik di pusat perbelanjaan tak jauh dari lokasi candi. Ria yang tadi sudah tampak kelelahan mendadak mendapatkan spirit baru begitu mendengar kata “belanja”. Dengan kalap, ia membeli ini dan itu. Aku dan Rungky hanya menemani sesekali membantunya menawar barang yang ia inginkan. Kami berdua layaknya dua orang bodyguardyang menemani Paris Hilton shopping. Tas-tas plastik yang kami bawa, itu bukan milik kami.

Kalian pasti sudah tahu siapa pemiliknya.

***

Lelah mulai menggelayuti tubuh. Kaki mulai pegal. Namun semuanya terkalahkan oleh keingginan kami merayakan malam tahun baru di pusat kota. Meski jarak yang kami tempuh cukup jauh, namun tak menyurutkan langkah kami menuju ke Jl. Malioboro, tempat tujuan kami menghabiskan malam terakhir di tahun 2011.

Suasana malam tahun baru di Jogja sangat ramai. Seluruh kendaraan tumpah ruah di jalan. Macet terjadi di mana-mana. Bis Trans Jogja yang menjadi andalan kami ternyata sudah tidak beroperasi, padahal jam baru menunjukkan pukul delapan malam. Sementara jarak dari Monjali menuju Malioboro cukup jauh. Mulanya kami berniat berjalan kaki menuju kesana. Namun, ditengah perjalanan, kondisi kaki kaki yang kelelahan setelah seharian di Bodobudur membuat kami harus mengambil satu tindakkan : naik becak. Sebenaranya bisa naik taxi atau ojek, tapi harganya sangat tidak bersahabat dengan kantong kami. Beruntung, kami menemukan abang becak baik hati yang mau mengantar kami menuju Malioboro dengan harga yang relatif terjangkau.

Meneleusuri kota Jogja di malam hari, di atas kendaraan tradisional, membuat senyum kami terus menggembang meski harus duduk berhimpitan. Beberapa kali terjebak macet, namun dengan sigap abang becak yang tidak sempat kutanyakan namanya itu membawa kami ke jalan-jalan “bebas hambatan”. Tak sampai satu jam kami tiba di stasiun Tugu. Disanalah kami diturunkan untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju Malioboro yang tinggal selangkah.

***

Diantara keriaan, selalu ada cinta yang dirayakan dalam diam.
-Windy Ariestanty-

Kata-kata itu aku temukan di buku perjalanan yang berjudul “Life Traveler, suatu ketika di sebuah perjalanan”. Buku yang tidak hanya menyuguhkan cerita perjalanan, tetapi juga nilai-nilai apa saja kita dapatan ketika sedang melakukan sebuah perjalanan. Interaksi antar manusia dengan menggunakan bahasa hati.

Dan malam itu, untuk sejenak, aku kembali terdiam. Perasaan itu hadir kembali tanpa permisi. Membuat 30 menit yang aku lewati berlalu hanya untuk memikirkan dia. Apa yang sedang dia lakukan sekarang? Apakah menanti kembang api yang akan menyala sebentar lagi? Apakah aku ada ketika ia memejamkan mata? Atau tuk sekedar menyebut namaku di dalam dekap doa yang ia panjatkan dalam diam?

Entahlah.

“An, liat!”

Welcome 2012

Suara Ria membuayarkan lamunku. Seketika aku mengikuti telunjuknya yang mengarah ke langit yang gelap. Aku mendongak. Langit tak lagi hitam. Ada warna-warni cahaya yang sekarang menemaninya. Langit tak lagi sepi, ada kembang api yang menciptakan bunyi. Suasana mendadak ramai. Suara terompet terdengar dimana-mana ketika jam menunjukan pukul 00:00 WIB. Semuanya bergembira. Senyum bertebaran dimana-mana. Peluk dan cium menjadi pemandangan umum.

2011, selamat tinggal...

Sejenak, aku melupakan masa laluku untuk bergabung dalam pesta akbar ini. Untuk kali ini, aku tak ingin menjadi si penyediri. Aku ingin larut dalam kemeriahan ini. Bahkan kalau bisa sampai aku lupa diri dan berpesta pora hingga pagi. Tapi setelah kurang lebih seperempat jam kami berdiri, memandang langit yang tak lagi sepi, kami memutuskan untuk kembali. Bukan karena tak senang dengan kemeriahan, tapi tubuh kami sudah kelelahan. Bahkan Ria sudah gontai ketika berjalan. Saking capeknnya, kami akhirnya memutuskan untuk naik taxi menuju Monjali.

2012, kami datang...

                                                                                                                    Bekasi, 20 Agustus 2012
                                                                                                                    00:44 WIB






  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar