Suatu Hari di Kota Tua


Oleh : Waspuhan Muriadi

Bahkan, perjalanan yang direncanakan secara spontan, bisa menjadi cerita. Meski itu hanya sehari. Walau itu hanya berkeliling kota, tanpa kau tahu tujuanmu apa. Rehatlah sejenak. Dan lihat sekelilingmu. Ada cerita disitu.

 Alun-alun Kota Tua.

Aku sudah sering mendengar wisata Kota Tua Jakarta, entah itu dari teman, media massa atau dari televisi. Niat untuk pergi kesana pun sudah ada sejak aku pertama kali mendengar namanya. Tapi selalu gagal dengan berbagai macam alasan. Padahal hampir setiap hari aku pergi ke ibu kota, namun hari itu, untuk pertama kalinya rencana untuk pergi kesana terlaksana berkat ajakan dari seorang teman.

Terima kasih untuk Inge yang telah membawaku turut serta dalam expedisi kecil ini, hingga aku lebih mengenal dan mencitai kota ini.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 08.30 WIB. Awan mendung menghiasi pagi kota Jakarta yang tak pernah sepi. Januari selalu menghadirkan satu hal yang aku senangi : gerimis, yang –entah mengapa- selalu tanpak romantis. Di salah satu sudut shelter busway Harmoni, seorang remaja putri duduk sendiri. Merasa sepi meski disekitar banyak orang berlalu-lalang. Ironis memang. Sambil menunggu, ia sibuk mengotak-atik handphone untuk membunuh sepi.

Gadis itu bernama Mariana.

Kasihan. Pasti bibirnya manyun saking bosannnya. Aku yang sedang berada di kampus UNJ, mencoba menghubungi dan menanyakan keberadaan teman-temanku yang hari itu janjian ke Kota Tua. Ya, hari itu kami akan berwisata ke sana. Imron berada di Pancoran. Menk sedang menuju ke Harmoni. Sinta ada di Roxi. Inge hampir tiba di Harmoni dan si “Miss Ngaret” alias Ajeng baru di Pulogadung. Sedangkan Oneng sedang jadi baby sister, menjaga ponakannya. Tapi aku tidak tahu dimana Vety berada.

***

Tepatnya di Matraman, ketika kulihat awan mendung sudah berubah wujud menjadi butiran air yang jatuh ke bumi. Awalnya hanya rintik gerimis, namun intensitas butiran air itu semakin besar yang kemudian menciptakankan guratan-guratan di kaca jendela busway. Cantik. Aku selalu menyukai guratan-guratan itu. Sejak dulu.

Namun, sesaat kemudian hujan pun turun tanpa ampun.

Saat kakiku sudah menjejak di shelter busway terakhir, Imron, sahabatku dari jurusan bahasa arab, sudah menunggu disana. Tak lama kemudian Ajeng mucul. Cengiran tulus iklas tanpa rasa bersalah dan berdosa terbit di wajahnya. Aku dan Imron hanya geleng-geleng kepala. Bukan Ajeng namanya kalau tepat waktu. 

“Ayo Pu... nanti telat. Nana udah curhat di BBM terus soalnya haha...”

Entah mengapa, aku ingin mencubit pipinya saat itu.

***

Kami mengawali perjalanan ini dari Museum Bank Indonesia.

Dengan tiket seharga Rp. 0,- alias gratis, kami memasuki museum pertama dalam penjelajahan Kota Tua kali ini. Terus terang, aku jarang ke museum. Belum banyak museum di Jakarta yang aku kunjungi. Dan museum Bank Indonesia ini harus menjadi agenda wajib bagi siapa saja yang ingin menjelajah Kota Tua. Tempat ini luar biasa bagus dan sangat terawat. Bukan cuma bangunananya, tetapi juga barang-barang peninggalannya. Semua tertata rapi dalam wadah kaca, menggoda siapa saja untuk melihatnya.

Dan disana, aku juga turut mengabadikannya gambar dirinya. Nantinya, kenangan ini pun akan kusimpan di dalam ”museum hati”. Ya, selamanya akan kujaga disana. Kuharap aku bisa.

Hujan semakin deras mengguyur begitu kami keluar dari museum Bank Indonesia. Perut mulai keroncongan. Dengan berlindung di bawah payung, kaki-kaki kami berjalan menembus hujan, menyeberangi jalan, melompati genangan-genangan air yang terdapat disana-sini. Tujuan kami selanjutnya jelas mencari tempat makan. Pilihan jatuh disebuah rumah makan padang di ujung jalan.

Sambil menunggu hujan reda dan Oneng tiba, kami mengisi perut yang kosong sekaligus numpang men-charge battery yang mulai lowbatt. Aku iseng memotret air hujan yang jatuh ke jalan. Sekitar 60 menit berlalu, hujan mulai reda, namun masih tidak dengan awan kelabu. Sinar matahari masih belum terpancar. Selayaknya perisai, awan kelabu itu sukses menjadi penghalang. Menyejukkan Jakarta dari sengatannya.

Di bawah gerimis...

Untuk kali ini aku setuju. Biarlah matahari rehat sejenak untuk menyinari ibukota yang selalu terik ia terpa. 

Meskipun itu hanya beberapa menit.

Oneng datang tepat setelah kami selesai makan. Tiba saatnya kami harus hengkang dan melanjutkan pengembaraan kami mengeksplore Kota Tua. Kembali kami harus menyebrangi jalanan yang becek. Tak mengapa, karena di ujung jalan sana ada toko penjual baju-baju dan souvenir. Aku selalu suka membeli cindera mata ketika tengah berada di objek pariwisata. Buatku, ini adalah bentuk dukungan untuk memajukan industri pariwisata kita. Selain membantu perekonomian warga sekitar tentu saja. Jadi, aku dan Imron memutuskan untuk mampir sebentar disana. Yang lainya tetap melanjutkan perjalanan.

Setelah melihat-lihat sejenak, akhirnya aku memutuskan untuk membeli celana pendek yang modelnya sangat ku suka. Harganya lumayan menguras kocek. Rp. 80.000,-.

Museum Sejarah Jakarta nan eksotik

Museum Fatahillah dari dekat.

Perjalanan kami lanjutkan menuju museum Sejarah Jakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan Museum Fatahillah. Inilah untuk pertama kalinya aku menyambangi salah satu sudut Kota Tua nan eksotik dari dekat. Bangunan tua yang sarat akan sejarah. Aku seperti terlempar ke masa lampau sekaligus tersedot ke masa depan saat mata kamera ini mengabadikan “alun-alun” Kota Tua dengan segala hiruk pikuknya. Mendadak saya teringat akan impian saya menuju benua biru, Eropa. Hujan rintik-rintik tak menghalangi saya untuk mengabadikan setiap moment yang ada. Malah hujan ini semakin membuat setiap gambar yang aku ambil jadi terlihat fotogenik.

Hanya dengan Rp. 1000,- kami bebas mengelilingi bangunan tua ini. Yang menarik dari museum ini adalah bangunanya yang menjadi icon dari Kota Tua. Pada tahun 1925-1942 bangunan bergaya neoklasik ini sempat menjadi kantor Pemerintahan. Namun pada tahun 1973 dialih-fungsikan kembali menjadi museum hingga sekarang. Puas mengelilingi museum ini, kami memutuskan untuk istirahat sejenak sambil menjalankan ibadah solat.

Di salah satu bangku taman, aku duduk sendirian. Memijat kaki yang pegal sambil  memulihkan energi yang telah terkuras seharian.

Satu alasan mengapa aku menyukai Kota Tua : aku merasa sedang berada di benua Eropa.

Setelah selesai solat kami bergegas pergi. Meski rasa lelah mulai menggelayuti kaki, namun kami masih mau melanjutkan perjalanan ini. Tujuan selanjutnya adalah museum Keramik. Tapi sayang, sepertinya hari itu bukan hari keberuntungan kami. Museum itu masih dalam tahap renovasi. Tak patah arang, kami pun melanjutkan ke Museum Wayang yang letaknya masih dalam satu kawasan Kota Tua.

Sebuah Senyuman.

Suasana di depan Museum Wayang.

Ada kejadian yang membuat aku sedikit naik darah terkait dengan pelayanan museum ini. Seorang wanita penjual tiket masuk museum bersikap tidak ramah terhadap pengunjung. Bahkan cenderung galak menurutku. Terutama terhadap kami. Aku tak tahu apa alasanya, tapi apapun itu, sikapnya ini sangatlah tidak profesional. Terlebih ini adalah industri pariwisata, dimana keramahan menjadi modal utama. Bahkan tersenyum pun tidak. Miris. Padahal bangsa kita dinobatkan sebagai bangsa paling murah senyum di dunia. Namun hari itu aku harus kecewa. Tak kutemukan senyum ramah itu disana.

Bahkan, ketika Inge membeli tiket, kami berdelapan “diperintah” masuk duluan oleh si wanita penjual tiket itu dengan nada yang sangat tidak bersahabat dan membuat kupingku gatal.

“YANG LAINNYA MASUK!!!” perintahnya. “BERAPA ORANG SIH MBAK???” sambil menghitung uang dan pasang muka jutek.

“Sembilan mbak...” jawab Inge sabar.

“KOK INI LEBIH DARI SEMBILAN ORANG???” dia nunjuk pengunjung di belakang Inge.

“Oh, yang itu bukan mbak” jawab Nana kalem.

“YAUDAH, MAKANNYA SAYA BILANG, YANG LAIN LANGSUNG MASUK!!!!”

Sampai disini, emosiku tak dapat dibendung lagi. Melihat tampang dan nada bicaranya yang menyebalkan, membuatku“gerah”. Aku hampir naik darah. Kutatap lekat orang itu. Berhenti sejenak untuk mengamatinya dari dekat. Tepat sebelum kakiku memasuki pintu masuk, dengan tenang kukatakan,

“Ramah banget pelayanannya...”

Nana langsung mendelikkan mata. Tak mengira aku akan mengatakan hal itu. Aku langsung buang muka, tidak mengindahkannya. Aku masuk tanpa banyak bicara. Diam sejenak adalah caraku untuk mengendalikan emosi sebelum menjadi-jadi.

Semoga saja hal di atas tidak menimpa pengunjung lain, apalagi turis asing. Bisa memalukan bangsa ini kalau hal itu sampai terjadi. Bagaimana pariwisata kita bisa maju kalau pelayanannya saja seperti itu? Semoga saja tulisan ini bisa menjadi kritikan atau pun masukan untuk meningkatkan pelayanan publik, agar industri pariwisata kita dan industri lainnya bisa lebih baik. Semoga.

Untuk museumnya sendiri, meskipun mungil namun koleksinya cukup lengkap. Hanya saja perlu ada renovasi disana-sini supaya museum ini semakin menarik hati para pengunjung. Bukan hanya bangunannya, tetapi juga pelayananya (terutama si penjual tiket masuk itu juga harus "direnovasi" sepertinya).

***

Kembali ke alun-alun Kota Tua.

Hari sudah beranjak sore. Kaki juga sudah lelah. Kami duduk-duduk di atas batu bulat yang aku sebut itu batu “Inti Julihaiyati”. Batu-batu yang tersebar di setiap sudut bangunan, mengingatkanku dengan pipi sahabatku yang satu itu. Buled. (pakai huruf “D” biar manteb). Diatas batu itu, kami asyik bercengkrama. Menikmati suasana senja diiringi musik dari musisi jalanan yang datang silih berganti.

“Bisa kere kita kalau seharian disini” celetuk Menk. “Pengamennya dateng tiap lima menit sekali...”

Aku tersenyum geli mendengarnya. Kami pun memutuskan untuk beranjak menuju destinasi berikutnya : es krim Ragusa.

Demi semangkuk es krim...

Sayang, Oneng harus kembali ke pekerjaannya menjadi baby sister dan menemani Shinta pulang duluan. Rintik hujan kembali mengguyur. Kembali aku mengeluarkan kamera, membidik orang-orang yang lalu-lalang di bawah payung dengan derai hujan sebagai latar belakang. Menarik. Eksotik.

Mungkin hanya kami, di tengah rinai hujan, baju basah dan juga kedinginan, yang rela menghabiskan senja di salah satu sudut toko es krim terkenal di Jakarta : Es Krim Ragusa. Bagiku, itu pertama kalinya aku mampir kesana dan mencicipi rasa es krim yang konon masih mempertahankan resep “jadul”-nya ini. Mengenai rasa, kalian harus mencobanya sendiri. Dan disana, kami menututup perjalanan hari itu dengan tawa bahagia.

Meski besoknya beberapa dari kami jatuh sakit, tapi kami telah menorehkan cerita disana.

Semangkuk es krim di cuaca dingin.
***

Sehari sebelumnya, aku mengirim pesan kepada sahabatku Destin.

To       : destinkentang
Destiiiiiinnnn... kaya raya. bsk nak2 pd mau k kota tua. Ikut y

Lama tidak ada balasan, sebelum akhirnya HP-ku bergetar dalam genggaman.

From : +6258111407xxx
Puh, ini w destin. Mank da acara pa Puh?

To : +6258111407xxx
Destin kaya raya, ini w Puhan Kyuhyun. Acara refresing abis UAS des. Pd stres tu anak2 kita. Skalian 
mrk pgn temu kangen ma lo, ibunya J 

From : +6258111407xxx
Hahaha...dsr lo, Puh. Brarti skarang w panggil lo Kyu j y :D Gw mw j c Kyu, tp g ngerti ksananya gmn..

To : +6258111407xxx
Hadeeeehhhhh -___-! Bu Destin, ini Jakarta. Disini, g da yg kamu kenal slain aku. Like this yo (iklan). Naek busway des, nak2 pd janjian d matraman jam 9. Kl g minta jemput oneng j. Pasti mw. Pa c yg g bwt lo des (preetttt)

From : +6258111407xxx
Hahaha...dsr korban iklan! Sapa j yg kut, Kyu? Oneng kan udah dkt dr sana..

To : +6258111407xxx
Menk, ajeng, inge, nana, vety, shinta, oneng dan 1 makhuk yg slalu ngintilin w : IMRON. Dan tentunya....GUEEEEEE.... ^____^

From : +6258111407xxx
Ywdah insyallah bsk w ikut....

***
Keesokan harinya, rabu, 11 Januari 2012.

From : +6258111407xxx
Puh gw g bs ikut :( w titip salam j y bwt nak2. Kpn2 w critain alesannya knp...

Aku menghela napas panjang, berusaha menelan kekecewaan karena sahabatku itu tidak jadi datang. Posisiku sudah di jalan menuju Matraman. Membatalkan acara karena Destin tidak jadi datang tentu bukan alasan yang bijak, mengingat teman-temanku yang lain sebagian sudah berada di lokasi. Perjalanan itu, tetap aku jalani meski tanpanya.

Hingga detik ini, sebagian dari kami tidak pernah tahu alasan mengapa Destin tidak jadi ikut serta hari itu.

Seandainya Destin ada, mungkin itu akan menjadi hari terakhir kami bersamanya. Setelah beberapa bulan setelah hari itu, Destin pergi. Ia harus kembali ke kota pelajar, tempat dimana ia berasal. Hingga hari ini, dan hari-hari ke depan, sosok bulat itu tetap kami rindukan.

Dia salah satu sahabat terbaik yang pernah kami miliki...

                                                                                              Bekasi, 22 Agustus 2012
                                                                                             23:34 WIB





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar