Oleh : Waspuhan Muriadi
Mentari.
Awan.
Hijau.
Biru.
Rumah.
Pantai.
Bukit.
Cakrawala.
Senja.
Petang.
Semuanya silih berganti. Satu per satu, gambar-gambar tadi terekam bergiliran, seiring laju bis yang terus berjalan. Di kaca jendela, kulihat segalanya dari sudut sini dengan nyaman. Perjalanan. Satu kata yang –entah mengapa- selalu membuatku ingin mengulanginya. Lagi dan lagi. Kecanduan. Mungkin kata ini yang sanggup mewakili semua diksi yang mendadak bersembunyi. Dan kini, ijinkan aku untuk memutar kembali kenangan itu ke dalam serangkaian kalimat yang mungkin akan kau ingat.
24 April 2012...
Hari itu, menjadi saksi bahwa kita pernah bersama dalam sebuah perjalanan luar biasa. 5 hari, 4 malam, 3 tempat, 2 universitas, 1 tujuan : persahabatan. Jika aku tak salah hitung, jumlah kita saat itu 34 orang, ditambah 3 orang dosen. Pukul 08.00 WIB kita berangkat dari Jakarta menuju Malang. Kurang lebih perjalanan memakan waktu hampir 24 jam. Tidak ada kata bosan meski perjalanan ini cukup melelahkan. Benar bahwa kita kedinginan terperangkap di dalam “kulkas berjalan”, namun aku merasa hangat ketika berada dalam radius kalian. Mendengar riang canda, gelak tawa, cerita tentang si “dia” dan juga menertawakan kebodohan kita. Tahukah kawan, semua itu aku rekam di sini? di hati. Hingga nanti...
Jangan lupa kata sandi : “S...S...S” (‾⌣‾)♉
25 April 2012...
Malang. Ada yang menyebut kota ini dengan julukan Swiss Van Java. Aku lebih suka menyebutnya kota kenangan. Nanti kalian tahu sendiri alasannya. Kesejukan dan keindahan tata kotanya membuat mata tak jemu untuk melihatnya. Senang rasanya –dan sebenarnya ingin teriak- ketika melewati alun-alun kota Batu yang menawan dengan taman kotanya yang indah. Inikah taman kota yang aku saksikan di TV tempo hari? Kapan kotaku –Bekasi- bisa seasri itu?
Tiba di hotel kami langsung menuju kamar masing-masing. Aku memilih untuk beristirahat sejenak. Tapi sebagian besar teman-temanku memilih untuk berenang di kolam renang karena ogah rugi. “Ngapain gak berenang? Rugi tau udah bayar mahal-mahal gak berenang,” begitu kata mereka. Aku hanya mengiyakan saja tanpa banyak kata. Bagai mahluk amphibi yang mendamba samudra, begitu pula mereka yang tak sabar ingin menceburkan diri ke kolam begitu kolam renang sudah dibersihkan dan dibuka untuk umum. Dari atas balkon, kusaksikan canda tawa kalian yang membuatku ikut tersenyum. Ajakan kalian yang –hampir- menggodaku untuk ikut serta. Dari kamera lensa, aku mengabadikan momen itu...
Balekambang. Dari dulu aku suka pantai. Satu kata yang menggambarkan sebuah tempat dimana dua dunia bertemu : daratan dan lautan. Meski sore itu air laut tengah surut, namun tak menyurutkan kebahagian kita ‘tuk menikmati birunya laut, luasnya cakrawala, deburan ombak di kejauahan, belaian angin yang melambaikan nyiur, serta pasir putih. Tidak cuma jejakku, tapi kenangan indah kita tercetak disana...
Malamnya kita mampir ke sebuah toko yang menjual aneka jenis es krim. Kalau tidak salah namanya Toko Oen. Memasuki toko ini aku merasa kembali ke tahun 40-an. Ya, toko ini memang menawarkan nuansa tempoe doeloe. Tidak hanya citra rasa es krim yang di pertahankan, bangunannya pun masih bergaya Belanda lengkap dengan meja-kursinya yang antik. Meski bukan pecinta es krim sejati, tapi aku cukup menikmati. Rasa manis itu, masih terasa hingga kini...
26 April 2012...
Universitas Brawijaya. Untuk pertama kalinya aku menjejakkan kaki disana. Terpana, antusias, gugup, senang, dan bangga. Perasaan tadi bercampur aduk jadi satu. Aku terpana melihat betapa luasnya kampus ini jika di bandingkan UNJ yang mungil itu. Tapi aku antusias, karena hari itu aku akan bertemu sahabat-sahabat jauhku, tidak hanya dari UB tapi juga dari UNY. Sebagai mantan ketua BEM aku harus mempresentasikan program kerja BEM dalam bahasa Perancis. Dan jujur, aku gugup, takut membuat kesalahan dan mempermalukan teman-teman, dosen dan juga universitasku. Tapi aku senang segalanya berjalan dengan lancar. Aku bangga telah mengalahkan rasa takut itu. Dan hari itu, untuk pertama kalinya, sebagai mahasiswa yang selalu merasa dirinya bodoh, aku merasa dihargai. Aku merasa... berarti. Tidak akan kulupa senyum bangga dari ketiga dosenku, tepuk tangan dari teman-temanku. Aku hanya bisa tersenyum sembari menyembunyikan kebahagiaanku. Terimakasih yang tak terhingga untuk kalian semua. Tak akan kulupa moment berharga itu...
27 April 2012...
Bromo. Puncak dari perjalanan akan berakhir disini. Pagi-pagi buta kita beradu cepat dengan mentari menuju Bromo. Membelah kabut yang mengapung di udara. Melawan hawa dingin yang menggelitik tanpa ampun. Jalanan terjal tak kami hiraukan. Tujuan kami cuma satu : di punggung bikit itu kami ingin melihat sunrise menyapa Bromo dengan manisnya. “Bonjour Bromo” begitu kata mentari. Dan kami menjadi saksi, bahwa keindahan alam itu terjadi tepat di hadapan kami...
Agaknya kami belum puas jika tidak menjejakkan kaki di lautan pasir berbisik di kaki gunung Bromo. Fajar mulai menyingsing. Perlahan, kabut mulai menyingkir. Turun dari mobil, hal pertama yang kulakukan adalah bersyukur. Paling tidak dua dari 3 B (Borobudur, Bromo, Bali) sudah tercapai. Tinggal satu B lagi : Bali.
Mulanya, aku ingin menikmati perjalanku menuju puncak Bromo dengan berjalan kaki. Tapi mendadak aku tergoda untuk menunggangi kuda (selain hampir kehabisan tenaga) padahal perjalan tinggal setengah jalan lagi. Hingga tibalah aku di depan tangga menunju kawah Bromo. Perlahan namun pasti, satu per satu tangga mulai kudaki. Napas kian berat dan tenaga makin terkuras. Bukan aku saja yang kepayahan, dua temanku (Kiki dan Fajar) sudah hampir menyerah ditengah perjalanan. Dan... tibalah aku sampai di bibir kawah Bromo. Aku terdiam sejenak, teringat pesanku pada sahabatku Inti sebelum kami tiba disini : bahwa kami ingin membuang parasaan cinta itu disini. Tapi... yang ada galau. Aku gamang. Haruskah aku mengubur seluruh kenangan itu disini?
Mendadak aku tak rela melepasnya...
Aku turun kembali menuju lautan pasir dengan perasaan jauh lebih baik. Lega. Aku menemukan jawabnya. Aku...iklas bila harus begini adanya. Persahabatan ini jauh lebih baik dari pada cinta yang dipaksa. Namun senyum itu, ijinkan aku untuk menyimpannya bagi diriku sendiri. Bunga Edelweis itu telah mati, tapi tidak dengan perasaan itu. Selamanya, aku ingin mengabadikannya.
28 April 2012...
Jakarta, kami kembali...
Di dalam bus yang membawa kami pulang ke Jakarta, ada perasaan yang bersemayam di benak kami masing-masing. Entah karena lelah, atau karena apa, perjalanan pulang ini lebih banyak kami lewatkan dalam diam. Aku kembali duduk di pojokan sembari melihat potongan-potongan gambar tadi. Mentari. Awan. Hijau. Biru. Rumah. Pantai. Bukit. Cakrawala. Senja. Petang. Mencoba mengulang waktu yang mustahi ‘kan kembali. Tapi paling tidak, kenangan yang kami cipta ‘kan terukir abadi...
Bekasi, 5 Agustus 2012
23:14 WIB
0 komentar:
Posting Komentar