Memories of Jogja (Part I)


Malam takbiran, 2009...

Di tengah dekap malam dan hawa sejuk pegunungan desa Pakis Baru, Pacitan, aku dan seorang kawan berbincang di sebuah warung bakso pinggir jalan, tak jauh dari pasar tradisional Gedangan. Suara takbir terus berkumandang.  Dan semangkuk mie ayam hangat sanggup meredam bunyi perut kami yang keroncongan.

“Suatu hari nanti, aku akan mengunjungimu di Jogja...” janjiku pada kawanku itu. Namanya  Maman.

“Bener ya, aku tunggu.” Jawabnya antusias.

Aku hanya mengangguk, pasti. Kurapatkan jaket yang membungkus tubuhku saat kabut mulai datang. Malam itu adalah awal dari segala petualangan ini berasal.

***

Dua tahun kemudian, janji itu terwujud, tepat di penghujung Januari 2011. Dengan membawa uang secukupnya, aku berangkat dengan kereta api ekonomi dari stasiun Senen menuju Jogja. Perjalanan memakan waktu sekitar 11 jam. Pukul 9 malam kereta yang membawaku ke kota gudeg mulai meninggalkan ibu kota dengan segala hiruk pikuknya. Aku duduk di pinggir dekat jendela, tempat favoritku. Sambil menatap gambar yang datang dan menghilang, aku kemudian terlelap dalam dekap sang malam.

Keesokan harinya, pukul 8 kereta berhenti di stasiun terakhir : Lempuyangan. Begitu keluar dari stasiun, kudapati Maman telah berada disana. Duduk santai di atas motor sembari melambaikan tangan. Menyapaku dengan senyum ramahnya yang tak pernah pudar. Kami bersalaman, bertukar kabar dan saling bercanda gurau.

Hari itu, aku siap menjelajahi kota pelajar ini bersamanya.

Liburanku kali ini benar-benar singkat. Hanya sehari aku disana karena besoknya sudah harus kembali ke Jakarta. Karena itu, tak lama setelah istirahat di kamar kosnya yang mungil, sorenya ia mengajakku mengitari kota Jogja dengan mengendarai sepeda motor.

Perjalanan itu kami mulai dari icon kota Jogja yang paling terkenal, yaitu Tugu. Bangunan yang berusia hampir tiga abad itu terletak di tengah perempatan jalan, banyak dilalui kendaraan, namun mendadak Maman menghentikan motornya sejenak tepat di samping bangunan itu dan berkata padaku,

“Sentuhlah Tugu ini, maka kau akan kembali lagi kemari suatu hari nanti...”

Aku tahu itu hanya mitos. Namun, dalam diam aku melakukannya. Bukan lantaran aku percaya, namun tak ada salahnya untuk di coba. Just for fun. Itu sah kan?

Kami melanjutkan perjalanan menelusuri jalan Malioboro yang sangat tersohor itu. Disana, bibirku tak pernah kendur untuk tidak tersenyum saking bahagianya. Inikah surga belanja? Jujur kukatakan, aku hampir kalap melihat barang-barang yang dijajakan. Mulai dari kaos khas Jogja, batik, gantungan kunci, makanan, semuanya menggoda untuk dibeli.

Dan aku tak sanggup menahan godaan itu.

Uang yang ada di dompet kini telah berubah wujud menjadi beberapa potong baju dan oleh-oleh untuk keluarga dan kerabat di Jakarta. Hanya sisa beberapa ribu untuk membeli tiket pulang.

Malam harinya kami memutuskan untuk dinner di luar. Satu hal yang selalu ingin aku coba ketika berada di Jogja, yaitu makan di tenda lesehan. Dan malam itu, keinginan itu terwujud. Kami makan di salah satu lesehan pinggir jalan. Di hadapan kami sungai dan perumahan warga yang sempat diterkena dampak dari letusan gunung Merapi. Menu malam itu : nasi kucing sambal terasi dan segelas kopi hangat. Rasanya jangan ditanya.

: nikmat!

Petualangan malam kami tak berhenti sampai disitu. Maman membawaku mengunjungi alun-alun kota yang tersohor berkat dua pohon beringin yang menjadi daya tarik masyarakat. Konon, menurut mitos yang beredar, bila kita bisa berhasil melewati celah diantara dua pohon beringin itu dengan mata tertutup, maka keinginan kita akan terwujud. Entah benar atau tidak, aku tak peduli. Yang penting aku mencobanya. Maman menutup mataku dengan kain hitam yang ia bawa. Kelihatannya mudah. Tapi ternyata, dari sekian percobaan yang aku lakukan, tidak ada satu pun yang berhasil.

Aku gagal.

Keesokan harinya kami pergi ke selatan Jogja, tepatnya ke pantai Parangtritis. Seperti yang selalu saya katakan : saya selalu menyukai pantai. Pemandangan yang tersaji selalu sama. Matahari, debur ombak, angin sepoi-sepoi, pasir halus dan dereta pohon kelapa. Hanya satu yang berbeda : sepi. Karena bukan musim liburan, hanya kami berdua wisatawan yang berkunjung siang itu. Ya, hanya berdua. Dan tak banyak yang bisa kami lakukan disana selain berjalan di tepi pantai sembari melihat gulungan debur ombak yang saling bekejaran menuju daratan, menjilati kaki kami yang berusaha meninggalkan jejak di pasir namun selalu gagal karena segera terhapus oleh kedatangannya.
Namun, kedamaian itu aku temukan justru disana. Ketika sepi menghampiri. Di saat tidak ada siapa-siapa, selain kami berdua.

Kami kembali ke pusat kota diringi rintik hujan bulan Januari. Kereta yang membawaku ke Jakarta berangkat pukul empat. Masih ada waktu beberapa saat sebelum kereta berangkat. Dan ketika kami melewati Tugu lagi, aku meminta Maman menghentikan motornya barang sejanak. Aku ingin menyentuhnya sekali lagi.

“Apa kau percaya dengan yang aku katakan?” tanyanya seraya tertawa.

Aku hanya tersenyum menanggapinya. Aku tidak percaya, aku hanya menaruh harap. Bahwa suatu hari nanti aku akan kembali lagi kemari. Ke kota ini. Melihat keramahan setiap sudut kota, nuansa Jawa yang masih melekat kuat di tengah masyarakat, menikmati alunan musik tradisional sembari makan di lesehan pinggir jalan. Semua itu, ingin aku ulangi lagi.

***

Ini yang paling aku benci : perpisahan.

Seluruh penumpang berdesak-desakan masuk ke dalam kereta. Aku menatap sahabat kecilku itu untuk yang terakhir kalinya. Masih kuingat kata-katanya sebelum aku masuk ke dalam stasiun.

“Apakah kau tak bisa tinggal disini lebih lama lagi? Tidakkah liburanmu ini terlalu cepat...?”

Aku merangkulnya untuk yang terakhir kali. Menjabat tangannya erat sebelum kulepas, berat. Ini bukan liburan, tapi ini adalah sebuah perjalanan yang harus aku lakukan untuk menemukan jalan “pulang”.

“Aku pamit...” kataku singkat sambil melepaskan rangkulan persahabatan, lalu melangkah pergi menuju kereta api yang sudah siap berlari.

Kereta bergerak perlahan meninggalkan kota pelajar yang kian senja. Aku duduk bersandar sembari mengatur napas yang kian berat terasa. Esok, ketika aku membuka mata, ada realita yang harus aku hadapi seperti biasa. Jadi, malam ini, biarkan aku menutup mata, membuka cakrawala pikiran, merajut mimpi dalam kenangan.

Hari itu, Maman tak pernah tahu bahwa aku datang ke Jogja bukan saja karena aku ingin menepati janji, tapi aku ingin “lari” sejenak dari kehidupan ini.

Kuharap ia tahu, betapa beruntungnya aku telah mengenalnya.

                                                                                                                     Bekasi, 16 Agustus 2012
                                                                                                                    Di kamar, 03: 49 WIB

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar