1000 Langkah Menuju Curug 1000


Bogor, 20 februari 2010...

Langit masih kelabu. Sang mentari belum keluar dari peraduannya. Hanya semburat jingganya saja yang menghiasi langit di ufuk timur sana. Semilir angin menyapa pagi lewat belaian lembutnya. Terdengar kicauan burung dari kejauhan yang entah dari mana asalnya. Semetara itu, di dalam villa itu, para anggota Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM) tengah asyik dengan kegiatan masing-masing; memasak, nyanyi-nyanyi, diskusi, nonton tv dan lain sebagainya.

Perlahan mentari mulai merangkak naik. Sinar emasnya mengusir kabut yang tadi pagi mengapung di udara. Hawa dingin pun tergantikan dengan hangatnya sinar mentari yang menerobos masuk melalui kaca jendela. Angin yang kebetulan lewat tak sengaja membawa aroma sedap dari arah dapur.

“Eh, semuanya! Sarapan dulu nih!” kata Mefi setengah berteriak.

Dengan kompak semua menyahut, “Horeeeee!!!!!”

Kini semua anggota LKM sudah berkumpul dan siap mengisi perut mereka yang keroncongan. Mereka dibagi menjadi beberapa kelompok, yang masing-masing kelompok terdiri dari 6-7 orang. Masing-masing kelompok terdiri dari satu loyang besar yang bersisi aneka hidangan diatasnya. Dan begitu makanan dibagikan, tak perlu menunggu waktu lama untuk menghabiskan hidangan yang tersaji diatas nampan besar itu.

Sesudah sarapan, mereka kembali berkumpul untuk mendengar beberapa arahan dari Hamzah. Dia menjalaskan rangkaian acara yang akan dilaksanakan hari itu. Dan salah satunya adalah jalan-jalan ke curug. Terdapat dua pilihan: curug Cigamae dan curug 1000. Seperti yang dibilang oleh Hamzah, masing-masing curug punya kelebihan dan kekurangannya.

“Untuk curug Cigamae, saya tidak bisa terlalu banyak mendeskripsiskannya seperti apa, karena, terus terang, saya belum pernah kesana. Tapi jarak kesana –curug Cigamae- lumayan deket dibanding curug 1000. Keuntungannya, kita jadi nggak terlalu capek, karena nanti malem kita juga masih ada acara.

Nah, untuk curug 1000, itu jaraknya cukup jauh. Kurang lebih 4-5 kilometer. Tapi kalo menurut saya, karena dulu saya pernah kesana, pemandangan disana tuh keren banget. Jadi, sekarang terserah kalian mau pilih yang mana.”

“Ke curug Cigamae aja!” celetuk Kiki.

“Nggak! Ke curug 1000 aja!” sahut yang lain.

Satu tangan teracung keudara. Semua mata kini tertuju pada sang pemilik tangan itu. “Gini ya, kalo menurut aku sih mendingan kita ke curug cigamae aja. Selain lebih dekat, pemandangan disana juga nggak kalah bagusnya kok. Ini menurut pengalaman aku ya, kalo kita ke curug 1000, kaki bakalan capek banget dan pegelnya itu sampai ke pinggang. Ini bukannya dilebih-lebihkan, tapi memang kenyataannya seperti itu.” Setelah memberikan komentarnya, Ade menurunkan tangannya keposisi semula.

Masih terdapat kasak-kusuk diantara mereka untuk memilih diantara dua pilihan itu. Kedua belah kubu itu masih keukeuh dengan pilihan mereka. Waktu terus berjalan, hari juga sudah beranjak siang, namun musyawarah belum juga menemui titik temu. Melihat kondisi yang sedikit memanas itu, Tengku Andika[1] segera mengambil langkah bijak untuk mencapai kata mufakat.

“Oke, gini aja deh. Sekarang kita ambil voting. Siapa yang setuju ke curug Cigamae angkat tangan!” perintahnya.

Satu per satu tangan terangkat ke udara. Tengku langsung mengedarkan pandangannya sambil menghitung satu per satu. Dari 33 anggota, hanya sekitar 12 orang saja yang memilih. Dari sini semua juga sudah tahu siapa yang menjadi juaranya.

“Di LKM tidak ada pemaksaan. Kita disini demokrasi. Sekarang saya tawarkan dua pilihan kepada teman-teman yang tadi memilih curug Cigamae. Mau ikut bersama kami ke curug 1000 atau membuat rombongan sendiri ke curug Cigamae. Jadi rombongan dibagi menjadi dua. Ya semua saya kembalikan lagi kepada teman-teman semua! Gimana?” Tengku bertanya sambil menunggu keputusan dari kubu curug Cigamae.

Keputusan akhir adalah rombongan tetap menjadi satu dan tujuan perjalanan siang itu adalah ke curug 1000. Setelah semua siap dengan perlengkapan masing-masing, mereka kembali berkumpul. Dan napak tilas perjalanan menuju curug 1000 dimulai saat langkah kaki kecil mereka beranjak dari villa itu.

Pertama-tama mereka masih dihadapkan dengan jalan yang beraspal dan terus menanjak serta disuguhkan pemandangan yang sangat indah disekeliling mereka. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah hamparan hutan hujan tropis serta bukit-bukit yang menjulang yang menampakkan gradasi warna dari hijau ke biru. Setelah tersihir sebentar oleh lukisan alam itu, mereka kembali melanjutkan perjalanan yang masih panjang itu.

Memasuki kawasan curug 1000, jalan tak lagi beraspal. Batu-batuan cadas terbentang sampai ke pintu masuk. Dengan membayar Rp.90.000 semua rombongan yang berjumlah 30 orang masuk dengan tertib. Perjalanan kini tak lagi menanjak, melainkan menurun. Meskipun demikian tak lantas membuat mereka merasa lega. Jalan setapak dengan semak belukar dikanan-kirinya serta kondisi tanah yang licin ditambah lagi dengan medan yang kucup curam, membuat mereka harus ekstra hati-hati.

Meski rasa lelah mulai menggelayuti mereka, namun dengan semangat yang tinggi serta rasa penasaran akan keindahan curug 1000 membuat langkah kaki kecil mereka tak berhenti untuk melangkah. Langkah 1000 itu kini telah membawa mereka sampai ke tempat tujuan. Rasa lelah itu kini terbayar dengan keindahan yang ditawarkan oleh curug 1000. Tinggi air terjun itu kira-kira 15 meter dari permukaan tanah, dengan debit air yang besar dan langsung terjun bebas kebawah sehingga menimbulkan suara gemuruh dan buih air yang berlimpah. Dibawahnya terdapat banyak sekali batu-batu berukuran besar yang tersebar hampir di sepanjang aliran sungai.

Bak katak yang mendambakan hujan, mereka langsung bersuka-ria bermain air sungai berarus deras itu. Banyak juga yang tak ingin melewatkan moment untuk berpoto dengan latar belakang curug 1000 nan eksotik itu. Sayang, baru dua jam mereka disana, langit yang tadinya cerah berubah kelabu diiringi dengan suara gemuruh petir yang terdengar samara-samar karena teredam oleh suara air terjun.

Karena tak ingin mengambil resiko kehujanan di jalan, mereka memutuskan untuk kembali ke villa. Tanpa perbekalan yang memadai dan tenaga yang sudah terkuras habis, perjalanan pulang terasa lebih berat. Bahkan ada salah seorang peserta rombongan yang menangis karena sudah tak kuat berjalan. Beberapa orang lainnya ada yang terjatuh karena kehilangan keseimbangan.

Setiap beberapa meter pasti mereka berhenti sejenak untuk mengumpulkan tenaga. Begitu seterusnya hingga sampailah mereka diarea pemukiman penduduk yang menjual berbagai macam aneka makanan. Mereka memutuskan untuk istirahat dan makan disana.

Setelah perut kenyang dan tenaga pulih kembali, rombongan pun segera beranjak untuk kembali ke villa. Dengan jalan yang menurun dan dipayungi oleh awan mendung, perjalanan pun tak terasa berat lagi. Pada akhirnya, langkah 1000 telah membawa jiwa dan raga yang lelah itu sampai di villa dengan selamat.



[1] Ketua Umum Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2 komentar:

Unknown mengatakan...

boongan nii

Unknown mengatakan...

boongan nii

Posting Komentar