Kupercepat lariku saat kulirik jam tanganku sudah menunjukkan pukul 11.15. Kalau bukan karena motor sialan itu mestinya sudah 15 menit yang lalu aku sampai di taman, tempat aku dan Uchi janjian. Aduh, gawat! Bisa marah besar nih dia.
15 menit kemudian aku sampai di taman dengan nafas tersenggal-senggal ditambah bajuku yang basah kuyup oleh keringat. Hari ini panasnya bukan main. Matahari dengan kurang ajarnya telah menyemprotkan sinarnya secara bertubi-tubi kearahku. Kuusap peluh yang mengalir didahiku sambil celingak-celinguk mencari sosok Uchi.
Tidak berapa lama kemudian mataku menemukan sesosok cewek manis itu sedang duduk-duduk dibawah pohon dengan muka ditekuk plus bibir mengerucut. Feeling-ku jadi tidak enak. Sudah bisa dipastikan kalau sekarang ini Uchi lagi marah besar. Aku menghampiri gadis yang sedang dirudung amarah itu dengan hati-hati.
“Sori…sori Chi…tadi motorku mogok dijalan, trus….”
“Udah deh!!” Uchi langsung memotong kalimatku dengan nada emosi. “Kalo emang nggak niat dateng ya udah nggak usah janjian ketemuan segala!! Kamu tau nggak sih, aku ampe jamuran nungguin kamu disini?!!”
“Iya sori-sori…aku bisa jelasinnya kok!”
“Kata sori nggak bisa balikin keadaan Li! Kalo cuma kata itu yang bisa kamu ucapin, aku juga bisa! Sori …aku harus pergi!!” Uchi langsung beranjak pergi tanpa memberiku kesempatan untuk menjelaskan.
“Uchiiii…!!!” teriakku.
Tanpa sedikit pun menoleh, Uchi malah mempercepat langkahnya.
Aku hanya bisa menghela napas panjang dan hanya bisa memandang nanar punggungnya dari sini. Tidak terlintas dibenakku untuk mengejarnya. Percuma. Aku tahu betul sifat Uchi itu. Pemarah tapi juga penyayang. Lebih baik sekarang aku membiarkan marahnya mereda dulu.
***
Keesokan harinya, Uchi masih kelihatan kesel. Setiap kali aku mengajaknya ngobrol, pasti ia langsung menghindar sambil memperlihatkan muka juteknya. Dalam hati aku nelangsa juga sih. Baru aja 2 minggu jadian udah berantem kayak gini. tapi memang salahku juga sih. Hyyuuff…nasib, nasib.
“Ali..!!”
Telingaku menangkap sebuah suara yang berasal dari belakang. Suara yang aku hapal betul punya siapa itu. Aku menoleh kebelakang dan mendapati Putri sedang berjalan lunglai dengan mata berkaca-kaca, kearahku.
“
“Boleh…ngomong sebentar?” pinta Putri padaku dengan bibir bergetar.
Kebetulan saat ini sedang istirahat, jadi tanpa banyak pikir lagi aku langsung mengangguk mengiyakan.
***
“Sekarang mau ngomong apa?” tanyaku sewaktu kami sudah sampai dikelas yang kosong melompong tanpa penghuni. Bisa ditebak sendiri
Putri menyeka air mata yang terlanjur menganak sungai di pipinya. Sambil cecegukan ia berucap lirih kepadaku.
“Aku putus sama Ribas, Li…”
“Kenapa?” tanyaku heran.
Dengan menahan isaknya Putri menjawab, “Dia udah nggak sayang lagi sama aku, Li…hiks. Secara terang-terangan dia ngomong ke aku kalo dia suka sama…Yendi anak X.5”
Putri kembali melanjutkan ceritanya dengan rintikan air mata yang semakin deras. “Bahkan saat mutusin aku, Yendi ada disitu sambil gandengan mesra sama Ribas…hiks. Sumpah…aku benci banget sama mereka, benci, benci banget!!!”
Aku menyerahkan selembar tissue kepada Putri untuk menghapus air mata yang berlinang dipipinya. Sungguh, aku paling tidak tega kalo melihat cewek menangis didepanku. Apalagi cewek itu adalah cewek yang dulu pernah singgah dihatiku. Ya itu dia, Putri.
“Li…aku boleh minta satu permintaan nggak sama kamu?” kata Putri sambil menyapu air matanya.
“Apa?” apapun akan aku lakuin selama aku bias Put, batinku.
Putri tertunduk malu dengan pipi semerah tomat. “Kamu …kamu mau jadi cowok khayalan aku?” pinta Putri membuat aku sedikit tertegun. Permintaan yang aneh.
Aku mengernyitkan dahi, binggung mau jawab apa. “Tapi Put, aku udah….”
“Aku tau…tapi ini cuma khayalan nggak beneran. Dan Uchi ngga perlu tau tentang ini. Tapi…kalo kamu keberatan, aku juga nggak pa-pa kok, aku ngerti..”
“Eh..ng..nggak,” Huh! Lagi-lagi aku tidak tega untuk menolak permintaannya. “aku mau kok jadi pacar khayalan kamu. Tapi cuma khayalan ‘
Putri mengangguk sambil tersenyum. Dan hari ini kami resmi jadian. Jadian bo’ongan lebih tepatnya. Namun entah mengapa aku sedikit menyesali keputusanku yang sedikit tergesa-gesa itu.
***
Tiga hari setelah kejadian itu, hubungan aku dan Putri jadi dekat lagi. Semenjak putus dengannya aku memang sedikit menjauh darinya. Sementara itu, hubunganku dengan Uchi juga semakin membaik. Marahnya sudah mulai mereda. Yah, aku kini aku menjadi si “brengsek” yang menjalin hubungan dengan 2 wanita sekaligus. Kesimpulannya, aku telah memasang bom waktu yang suatu saat akan meledak.
Sejujurnya aku merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Selama kurang lebih satu bulan aku menjalin hubungan “khayalan” dengan Putri, dan selama itu pula aku membohongi Uchi tentang hubungan itu. Dan perasaan tidak nyaman itu semakin mengendap di hati dan menguras habis seluruh pikiranku.
Aku tidak menampik kalau aku juga masih sayang dengan Putri. Rasa sayang yang dulu terpendam sekarang muncul lagi kepermukaan. Tapi aku jadi dilemma. Disisi lain aku juga tidak tega membohongi Uchi terus-terusan begini. Karena biar bagaimana pun Uchi lah yang telah membangkitkan hatiku dari keterpukan saat Putri memutuskan untuk jadian dengan Ribas.
Suatu hari Putri datang kekelasku. Bel istirahat sudah berdering dari tadi, tapi entah mengapa saat ini aku enggan sekali untuk keluar kelas. Jadi, penghuni yang ada dikelas ini cuma aku dan Putri. Hanya kami berdua.
“
“Aku pingin ngomong serius sama kamu, Li !” kata Putri dengan nada serius. Sorot matanya menusuk langsung dibola mataku.
“Mau ngomong apa sih, kok keliatan serius gitu?!” tanyaku penasaran.
Putri menggenggam erat tanganku. Aku sedikit tertegun, tapi kubiarkan ia melakukan itu. Hal bodoh kedua yang kulakukan.
Suasana tiba-tiba hening. Hanya hembusan napasnya yang ditarik-ulur yang mampu memecah kesunyian itu. Matanya kini merebak lagi. Tak lama kemudian kristal bening mengalir dari sudut matanya.
“Li…maafin aku…” bibir manis itu mulai bersuara. “Meminta kamu untuk jadi pacar khayalan aku adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukin. Mungkin saat itu aku lagi kebawa emosi jadi nggak kepikiran kalo jadinya bakal kayak sekarang…”
Aku masih dalam posisi mematung. Kubiarkan Putri melanjutkan kalimatnya yang sempat tertunda karena suara isakan tangisnya yang mulai pecah.
“Tapi hari ini aku baru sadar…” Putri melanjutkan pembicaraanya lagi. “Sadar kalo sebenernya aku sayang banget sama kamu, Li…sayang banget!” ucap Putri sungguh-sungguh.
Aku sedikit syok mendengar pengakuan barusan.
“Kali ini aku nggak akan memintamu untuk jadi pacar khayalanku lagi…” Rintikan air mata itu semakin deras mengalir di kedua pipinya. “Tapi aku ingin kamu jadi pacar aku yang sesungguhnya. Aku rela kok buat jadi yang kedua dalam hidup kamu…
Aku sayang kamu, Li…”
Aku menghembuskan napas panjang. Mungkin sudah saatnya aku memberi jawaban yang tegas pada Putri. Aku harus memutuskan kabel biru itu agar bom waktu tidak jadi meledak. Meskipun berat tapi aku harus melakukannya.
“Put…maafin aku…aku nggak bisa” tolakku lirih. Kulihat Putri semakin tertunduk dalam tangisnya. “Aku nggak mungkin khianatin Uchi. Dan aku juga nggak mau jadiin kamu yang kedua, karena aku nggak mau nyakitin Uchi.”
Kini giliran aku yang menyelimuti tangan Putri dengan tanganku. Kuremas jemarinya sebagai ungkapan penyesalanku. Putri hanya tertunduk dengan lelehan air mata yang membasahi pipinya.
“Tapi kamu udah nyakitin aku, Li…” ucapnya dengan suara serak.
Aku mengangkat dagunya kemudian mengusap air matanya dengan jemariku.
“Lebih baik sakit sekarang daripada nanti. Dan sungguh, sekalipun aku nggak bermaksud buat nyakitin kamu, Put. Aku cuma nggak mau dua orang yang aku sayang sakit hati cuma gara-gara kecerobohanku mengambil sikap”
“Aku tau sekarang ini kamu sakit hati banget. Tapi percaya sama aku, suatu hari nanti kamu bakal bertemu dengan orang yang jauh lebih baik daripada aku” tambahku lagi.
Putri cecegukan dalam isaknya. Aku tahu ia sangat sedih mendengar keputusanku. Tak banyak yang bisa kuperbuat selain mengelus-elus punggungnya. Kuharap Putri tahu, aku pun sebenarnya sayang padanya. Tapi itu sudah menjadi keputusan finalku. Dalam sebuah keputusan pasti ada yang harus dikorbankan.
“Tapi aku sayang sama kamu, Li. Aku cinta sama kamu!!” kata Putri kembali terisak.
Untuk kedua kalinya aku menghapus air mata yang meleleh di pipinya dengan ibu jariku.
“Aku juga sayang sama kamu Put” akhirnya kejujuran itu mampu juga kukeluarkan dari bibirku. “Tapi aku sudah terlanjur membuat komitmen dengan Uchi. Dan aku nggak mungkin mengingkarinya. Please… jangan kamu pikir seolah-olah aku nggak berat ngelepasin kamu”
“Kalo kamu cinta sama aku, kenapa kamu nggak sama aku aja? Kalo masalahnya Uchi, tadi aku udah bilang kalo aku siap buat jadi yang kedua!?” Putri masih berkeras dengan pendiriannya.
“Cinta nggak harus memiliki Put. Cinta juga nggak bisa di paksa. Kalau kamu sayang sama aku, mestinya kamu bahagia melihat aku bahagia dengan orang lain. Cinta juga bukan alasan untuk seseorang menduakan cintanya. Aku harap kamu mengerti Put…”
Air mata Putri makin deras mengalir dipipinya. Lagi-lagi aku menghapusnya dari
”Detik bergulir sangat cepat tanpa tahu apa yang akan terjadi sama kita nanti. Dan kalau suatu hari nanti aku putus sama Uchi, aku rela buat ngemis-ngemis cinta kamu,” ucapku tulus.
Putri mengangguk lemas. Ia menyeka air matanya dan segera berdiri lalu beranjak pergi. Namun, sebelum ia keluar dari pintu, Putri berucap lirih kepadaku.
“I love you, Li…”
Setelah itu Putri berlari keluar sambil menahan tangisannya.
Aku hanya memandang kepergian Putri dengan hati nelangsa. Aku menhela napas panjang sambil mengelus dada untuk menenangkan hatiku. Itu adalah kedua kalinya Putri menangis dihadapanku.
“I love you too, Put…”ucapku tak kalah lirih.
Aku memandangi pintu ketika tiba-tiba seorang cewek keluar dari
“Aku udah denger semua, Li…” kata Uchi dengan bibir bergetar.
Baru saja aku mangap ingin menjelaskan sesuatu, Uchi sudah memotong.
“Nggak usah jelasin apa-apa. Aku udah cukup ngerti kok.” Uchi menyeka air matanya. Aku hanya terdiam dan membiarkan ia melanjukan kata-katanya. “Dan makasih karena kamu udah bo’ongin aku selama ini”
“Kamu berhak marah Chi. Ini emang salah aku,” akuku penuh sesal.
Uchi menggelengkan kepala. “Pengen, pengen aku marah sama kamu. Tapi aku nggak bisa marah sama orang yang udah rela berkorban demi aku….makasih ya Li, kamu udah mau milih aku”
Aku mengangguk sembari melengkungkan senyumku. “Makasih juga karena kamu udah mau percaya sama aku…”
Uchi mendekat kearahku, lalu memeluk erat tubuhku. Bisa kurasakan air matanya merembes di pundakku. Aku membiarkan ia menangis sepuasnya di pundakku, karena dengan begitu rasa bersalahku karena telah membohonginya selama ini, terhapus sudah. Kubelai rambut indahnya sambil berbisik lirih di telinganya.
“Chi…hari kemarin yang udah lewat lupain aja. Kini dan nanti pasti jadi milik kita….”
Bekasi, 24 Oktober
Untuk Ali
Yang telah menemukan pendampingnya
0 komentar:
Posting Komentar