SPRING


Oleh : Waspuhan Muriadi


Sulur cahaya mentari belum merekah, namun engkau sudah membuka matamu dan menemukan aku menelungkupkan kepala dalam posisi menggenggam tanganmu. Kau membelai rambutku, membangunkan aku dengan cara seperti itu setiap pagi. Jika kau mampu bangun saat itu, pasti kau akan langsung mengecup bibirku, kemudian dengan senyum mengembang kau ucapkan,


“Selamat pagi sayang…!”


Aku terbangun karena mendengar suaramu memangil namaku.


“Edmund!”


“Ya?” jawabku segera sambil mengucek kedua mataku.


Aku menguap lebar sambil merenggangkan otot-ototku yang masih pegal. Baru jam 3 pagi tadi aku bisa tidur. Semalam kondisimu memburuk dan sempat dimasukan ke ruang gawat darurat. Makanya, aku sedikit kaget saat mendengar suara lembut itu menyapaku.


“Oh, kau sudah bangun. Lama sekali menunggumu siuman.”


Garis matanya sayu dan bibirnya pucat, namun Nurani mencoba menghiburku dengan tersenyum. “Beri aku satu ciuman!” pintanya.


Aku tersenyum nakal. Kudekatkan wajahku ke arahnya. Dalam sekejap, tanpa rasa canggung sama sekali, aku langsung melumat bibirnya. Tak sampai lima detik kami menyudahi adegan itu.


Nurani tersenyum bahagia. Aku juga.


Ia mengelus pipiku yang kasar karena banyak di tumbuhi bulu-bulu kasar tak terawat Sudah sebulan ini aku tak mencukurnya karena tak sempat. Dan nampaknya Nurani menyadari perubahan pada diriku itu.


“Sudah berapa lama aku koma?” tanyanya.


“Seminggu.”


“Dan selama itu kamu menjagaku disini?”


Mantap, kepalaku mengangguk. “Aku tak tega meninggalkanmu.”


Kuraih tangan kanannya lalu kutempelkan telapak tangannya di pipiku. Hangat.


“Seharusnya kau tak perlu melakukan itu. Ada Ayah dan suster yang merawatku disini." ata Nurani, iba melihat keletihan yang terpancar dari wajahku.


“Tapi aku ingin menjadi orang yang pertama melihatmu membuka mata,” tukasku.


Nurani menarik napas panjang lalu menghembuskannya. “Dan itu sudah terwujud, bukan?”


“Ya!”


Butir-butir keringat mulai menghiasi wajah pucatnya. Denyut nadinya sedikit melemah. Matanya beberapa kali terpejam. Aku tahu ia sedang menahan rasa nyeri yang kembali menyerang. Dan kutahu, itu pasti sakit sekali.


Dengan suara lemah, Nurani bertanya, “Ed, musim apa sekarang?”


"Musim semi."


Wajahnya terlihat sumringah mendengarnya.


Disisa-sisa tenaganya, ia masih memohon padaku, ”Aku ingin melihat tempat dimana kita bisa melihat bunga sakura bermekaran. Tempat favorit kita berdua. Kumohon, bawa aku kesana…”


Aku tak ingin mengajaknya berdebat. Waktuku tak banyak lagi dengannya. Selain menuruti permintaannya, apa lagi yang bisa kulakukan untuknya. Agar ia bahagia, itu saja.


Secepat kilat aku turun ke lantai bawah dan menemui kepala rumah sakit yang ternyata adalah ayah Nurani. Awalnya kupikir beliau akan menolak, tapi begitu aku bilang itu adalah permintaan Nurani, beliau langsung mengizinkan. Beliau tahu apa yang terbaik buat Nurani. Dan Nurani tahu, itulah yang terbaik untuknya. Melihat bunga sakura.


***


Diatas bukit itu hanya ada sebuah pohon sakura yang akan selalu berbunga di sepanjang musim semi. Dan hari itu adalah awal musim semi, jadi cukup banyak bunga sakura yang sudah mulai bermekaran, menghiasi ranting-rantingnya.


Sementara dibawah bukit itu adalah hamparan luas padang rumput yang banyak dihiasi oleh bunga-bunga liar. Tak hanya sekawanan domba, sapi, kerbau, serta kuda saja yang asyik merumput disana, sekumpulan kupu-kupu nan cantik juga turut serta dalam acara “makan besar” tersebut. Tentu saja mereka mengincar madunya.


Kuajak gadisku menuju pohon sakura itu berada. Kugendong ia di punggungku dan perlahan aku mulai berjalan mendaki punggung bukit, selangkah demi selangkah. Setelah sampai di puncaknya, dengan napas sedikit terengah, kami langsung disambut oleh kicauan burung yang tengah asyik bercengkrama di dahan pohon. Letih, kami berdua duduk di bawah pohon kemudian bersandar di batanganya yang lumayan besar.


Memandang pemandangan nan cantik dan eksotik yang terhampar di hadapan mata membuat kami turut larut dalam kebahagiaan menyambut datangnya musim semi. Lelah seolah terangkat dari badanku. Sirna seketika. Hati kami ikut berbunga.


“Masih ingat tidak…saat kita pertama kali kemari?” tanya Nurani padaku.


Aku tak langsung menjawab. Mataku masih terpikat oleh apa yang kusebut sebagai “Lukisan Tuhan”, sebelum menjawab pertanyaan Nurani.


Mantap, aku mengannguk. “Ya, aku ingat.”


Pandanganku kini teralih padanya. “Saat itu kamu terus-terusan bersin karena tidak tahan dengan bau bunga,” sambungku seraya tersenyum simpul. Ada rasa geli yang menggelitikku bila mengingat saat itu.


“Aku bersin bukan karena bau bunga, tapi karena alergi dengan serbuk sarinya!” koreksinya dengan wajah sedikit cemberut, namun menggemaskan. “Tapi sekarang sudah tidak lagi. Aku mulai terbiasa. Berkat terapi kamu, yang selalu membawaku kesini setiap musim semi tiba.”


Bibirnya kini melengkung seperti bulan sabit. Tidak berlebihan namun indah di pandang.


Sulur cahaya matahari bergerak-gerak mengikuti pola daun dan ranting yang saling bergesekan di terpa tiupan angin. Tiba-tiba ia meraih tangan kananku dan langsung memeluknya. Erat sekali, hingga aku bisa merasakan –saat bersentuhan kulit dengannya- suhu tubuhnya yang sangat tinggi. Disandarkan kepalanya di bahuku. Matanya terpejam kembali, namun senyum indah itu masih belum memudar.


“Suhu tubuhmu panas sekali,” kataku memberi tahu. “Mau aku antarkan pulang?”


Nurani menggeleng lemah. “Tidak apa-apa,” jawabnya dengan suara lemah, yang langsung aku artikan bahwa dia tidak dalam kondisi baik.


Kami terdiam sesaat. Namun aku tak bisa menghentikan kekhawatiranku pada Nurani.


“Sebaiknya kita pulang saja!” ajakku setengah memaksa. “Aku tak ingin memperparah kondisimu...”


“Ssssstttt….!!!”


Jari telunjuknya menempel di bibirku. Itulah cara dia untuk membuatku diam. Bibirku langsung terkatup. Dari dulu aku memang selalu tak bisa memaksa kehendaknya. Tak tega rasanya.


“Aku tak mau pulang… karena jika aku pulang, ayah pasti akan membawaku ke bangsal rumah sakit lagi. Aku benci tempat itu. Aku ingin disini saja bersamamu…”


kumohon… tetaplah disini...


temani aku…”


Lagi-lagi aku tak kuasa untuk menolak permintaannya. Kasihan juga bila membayangkan Nurani harus berada terus di rumah sakit, dengan jarum infuse di lengan, dengan rutinitasnya meminum obat-obatan yang sebetulnya tidak ia suka.


Aku tahu dari dulu –sebelum kami menikah- bahwa Nurani mengidap kanker hati yang sangat kronis. Ayahnya, yang juga seorang dokter, bahkan sudah mem-vonis ia tak bisa disembuhkan. Karenanya Nurani lelah, ia menyerah. Segalanya terasa sia-sia. Berada lama di rumah sakit tak ‘kan menjaminnya sembuh. Itu hanya akan memperpanjang kontraknya di dunia yang setiap saat bisa habis, dan berujung pada kematian. Percuma.


Aku mengerti sekarang, mengapa Nurani mengajakku kemari. Nurani tidak ingin menghabiskan sisa hidupnya di rumah sakit. Ia ingin melewati musim semi terakhirnya bersamaku. Di tempat ini…


Setitik air mata jatuh di pelupuk matanya, disusul kucuran air mata berikutnya yang menganak sungai di pipi manisnya. Kurapatkan pelukanku, dan membiarkan Nurani menumpahkan air matanya di dadaku. Kubelai kepalanya yang sudah tak berambut lagi. Pundaknya naik turun sesuai irama isak tangisnya. Ia semakin tersedu-sedu.


“Menangislah… sepuasmu, bila itu membuatmu merasa lebih baik,” ucapku lirih.


Detik-detik berikutnya bergulir begitu saja tanpa sepatah kata pun dari mulut kami berdua. Kesunyian merebak. Alam semesta juga turut membisu. Bahkan angin pun berhembus tanpa suara. Hening. Semuanya memberi kesempatan kepada hati Nurani-nya saja yang berbicara lewat isak tangisnya.


Bisa kurasakan kehangatan air mata yang merembesi baju putihku, yang kini terdapat bercak darah di area dada dan sekitarnya. Rupanya Nurani turut menumpahkan cairan merah kental -yang keluar tidak hanya melalui hidung, tapi juga melalui mulut- itu.


Lama ia menangis. Rasa letih mulai menggelayutinya. Nurani kemudian berhenti menitikkan air matanya. Kami berubah posisi, tak lagi bersandar di pohon, melainkan berbaring diatas rerumputan yang seolah itu adalah tempat tidur kami dengan langit sebagai selimutnya.


Nurani meletakkan kepalanya tergolek diatas dadaku yang lumayan bidang. Ia betah berlama-lama disana. Menurutnya, dadaku cukup nyaman untuk dijadikan sebagai pengganti bantal.


“Apakah kamu masih ingat, saat pertama kali kita bertemu?” tanya Nurani dengan suara pelan, nyaris berbisik.


Belum sempat bibir ini terbuka, Nurani kembali melontarkan pertanyaan. “Masih ingatkah kamu, saat kamu menyatakan cinta padaku? Saat kita berpacaran dahulu? Sampai akhirnya kita menikah…”


Ada jeda disini. Hening sesaat… Nurani memberiku kesempatan untuk memutar kembali kotak memori yang tersimpan di otakku.


“Ya. Aku masih ingat semuanya!” jawabku kemudian.


“Tolong ceritakan kembali kisah itu untuk menemani tidurku…,” pintanya.


Tanpa diminta dua kali aku langsung menyanggupinya. Anganku melambung tinggi, tersedot kembali ke masa lalu. Lima tahun silam… Kutarik napas sejenak, kutahan sebentar kemudian menghembuskannya perlahan. Kutabahkan hati saat mengurai satu per satu lembaran masa indah itu.


“Hari itu… adalah hari pertama kamu masuk kuliah. Rupamu saat itu sungguh kacau dan juga menggelikan. Rambutmu yang di kuncir sepuluh dengan masing-masing warna yang berbeda, mengalungi nametag yang bertuliskan ‘cungkring’, karena tubuhmu yang saat itu sangat kurus, ditambah kau harus menggendong tas plastik kemana-mana selama masa OSPEK. Hari itu adalah hari yang sangat memalukan buatmu...”


“Lanjutkan!” titahnya, saat aku berniat untuk mengakhiri ceritanya sebelum tamat.


“Semua Mahasiswa baru dikerjai habis-habisan oleh para senior. Tak terkecuali dirimu. Saat itu kau kuhukum push-up 25 kali karena gagal mengeja namamu dari belakang. Karena takut dimarahi olehku, makanya kau saat itu juga langsung menuruti perintahku. Tapi baru hitungan ke-20 kau sudah kehabisan tenaga. Keringat dengan cepat membanjiri seluruh tubuhmu. Kemudian, pada hitungan ke-24 kau limbung dan langsung pingsan.”


“Secepat mungkin aku langsung menggendongmu ke ruang PMR. Aku merasa bersalah, takut dan panik saat itu. Tapi dari situ aku tahu, kondisi fisikmu sangatlah lemah. Sepanjang hari itu aku terus menjaga dan merawatmu, hingga kau siuman.”


”Begitu kau membuka mata, aku dengan segera meminta maaf padamu. Dan kau memaafkanku begitu saja, padahal aku berharap kau memukulku atau menyusuhku melakukan apa pun agar kita impas. Tapi itu tidak kau lakukan”


“Di tempat itu kita berkenalan…”


Nurani makin menikmati ceritaku. Ia semakin dalam berada dalam pelukanku. Dan kutahu kini senyumnya tengah merekah.


“Semenjak hari itu, ingin rasanya aku menjadi seperti lemari besi yang menjaga ragamu yang rapuh, agar tidak retak apalagi pecah”


Tapi itu tak mampu kulakukan lebih lama lagi…karena sebentar lagi Tuhan akan mengambilmu dari sisiku…


“Sebulan kemudian kuajak kau ke tempat ini. Kucurahkan semua perasaanku saat itu padamu, bahwa aku mencintaimu dan menginginkan engkau menjadi kekasihku. Kau tak langsung menjawab, tapi malah menangis. Kau meluapkan semua perasaan dan unek-unekmu padaku. Kemudian, kau mulai bertutur tentang penyakit yang bersarang di tubuhmu.”


“Jujur, perasaanku saat itu campur aduk. Senang, karena ternyata kau mempunyai perasaan yang sama terhadapku. Sedih, karena tak menerima kenyataan bahwa kau sakit parah. Namun kukatakan padamu bahwa aku menerimamu apa adanya dirimu. Apapun kondisimu.”


“Lama tak kau jawab pertanyaanku. Detak jantungku sudah bertalu seperti genderam mau perang menanti jawaban yang akan meluncur dari bibirmu. Penantianku akhirnya tiba, saat kau mengucapkannya dengan manis: Ya, aku bersedia menjadi pengganti tulang rusukmu yang hilang…


“Dua tahun kemudian, masih di tempat yang sama, aku melamarmu. Tanpa menunggu lama kau langsung mengucapkan ‘Ya’”


“Enam bulan berikutnya kita menggelar resepsi pernikahan dengan tema musim semi. Aku tahu kau sangat menyukai bunga, meski kau sedikit alergi dengan serbuk sarinya. Karena itu aku menghadirkan nuansa musim semi, meski hari itu adalah musim gugur. Dan kau tahu itu.”


“Disaksikan oleh banyak tamu undangan, keluarga dan juga para sahabat, kita bersanding di pelamina seraya tak henti-hentinya menebar senyum bahagia. Dibalut gaun putih indah, kau nampak luar biasa cantik hari itu…”

Cukup. Aku tak sanggup meneruskannya lagi. Mataku sudah mulai berkaca-kaca. Kurasakan hembusan napasmu sudah semakin melemah. Dan aku tahu apa artinya itu.


“Nurani…kau tahu kenapa aku selalu membawamu kemari setiap musim semi tiba?” tanyaku dengan suara tercekat menahan tangis. Nurani menggeleng lemah.


“Karena aku selalu ingin menumbuhkan cinta itu bersamamu, disini…” kataku.


Nurani mendekapku semakin erat. Matanya masih terpejam. Dan dalam kesunyian, aku bisa mendengar bisiknya.


“Tak perlu menunggu hingga musim semi tiba untuk menumbuhkan cinta itu di hatimu… Kejar, kemudian raihlah cinta itu, dan jangan pernah engkau lepaskan…”


Keheningan kembali menyergap. Ada jeda yang membuat hatiku pilu disini.


“Edmund… aku mencintaimu….”


Itu kata-kata terakhir yang aku dengar sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya. Suara gesekan biola yang memilukan mengiringi kepergiannya. Semesta turut berduka untuknya. Akhirnya hari dimana ia harus meninggalkan raganya telah tiba.


Kukecup keningnya yang masih terasa hangat. Kupeluk erat tubuhnya yang tergolek lemas tak bernyawa di atas dadaku. Ia sudah tertidur lelap dalam istirahat panjangnya. Dan tak pernah terbangun lagi. Selamanya.


Mataku kembali berembun. Dan saat kupejamkan mata ini, dua butir air mata menitik ke pipi kemudian jatuh di atas rerumputan. Tak bisa dibedakan lagi, mana yang air mata dan mana yang embun. Keduanya bersatu, berpelukan lalu…membentuk sebuah kristal nan cantik, yang aku sebut itu…


Nurani.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar