Aku berjalan di sepanjang tepi pantai yang pasirnya berwarna putih. Hanya sendiri. Menelusuri jejaknya yang mungkin tertinggal di pasir. Tapi ternyata ombak telah menghapusnya dari
Lelah aku mencari. Bahkan bayangnya pun sudah menghilang diantara batu-batuan karang. Aku duduk dibawah pohon kelapa, berlindung dari sengatan sinar matahari yang bertengger diatas kepala. Kusandarkan punggungku di batangnya.
Hening…
Hanya deburan ombak serta desiran pasir yang tertangkap oleh telingaku. Tapi, bahkan suara kicauan burung pun tak mampu mengusir rasa kehilangan itu dari lubuk hatiku. Dan fakta yang tak mampu untuk aku tutupi, bahwa…
Aku merindukannya.
Tepat setahun yang lalu Tya pergi meninggalkanku. Di musim panas yang seharusnya menjadi liburan kami yang menyenangkan, harus berubah menjadi kepedihan hanya dengan sebuah kata: perpisahan.
Masih segar dalam ingatanku bagaimana persisnya kejadian itu…
Hari itu Tya mengajakku pergi ke pantai ini. Begitu sampai disini, seperti amphibi yang merindukan air, kami berlari menantang angin yang berhembus menampar wajah serta melawan kuatnya arus laut saat kaki kami menyentuh bibir pantai. Belum sempat membuka baju, Tya sudah tak sabar mengajakku berenang dan bermain air sepuasnya. Alhasil baju kami basah kuyup. Namun ada kebahagiaan yang terpancar dari wajah kami.
Matahari mulai beranjak keperaduannya. Sudah agak lelah, Tya mengajakku berjalan-jalan di sepanjang tepi pantai sambil mengeringkan baju. Semilirnya angin laut yang sepoi-sepoi membuai kami. Dan tanpa terasa kami sudah berjalan sangat jauh dari pusat keramaian.
Tya telah menuntunku ke tempat dimana sekarang aku berada.
Kusadari betul ada sesuatu yang sangat penting yang ingin Tya katakan, sampai harus mengajakku ke tempat ini. Tapi aku menahan diri untuk tidak bertanya, dan kubiarkan Tya untuk mengungkapkannya sendiri.
Pandangan kami tertuju ke hamparan laut luas yang terbentang sejauh mata memandang. Menatap gulungan ombak yang saling berkejar-kejaran. Merasakan belaian angin laut yang menggelitik kulit. Semburat warna jingga matahari senja yang terpantul di permukaan air laut juga tak kami sia-siakan. Rasanya alam tengah memanjakan mataku kala itu.
Kulirik Tya dari sudut mataku.
Tya menghirup dalam-dalam udara pantai yang bersih dan menyegarkan. Tak lama kemudian ia menghembuskannya perlahan sambil memejamkan mata.
“Ari…,” panggilnya.
Aku menoleh ke arahnya. “Ya?”
Tya agaknya lebih suka memandang matahari yang sebetar lagi akan terbenam daripada menatapku. Pantulan sinar jingga memancar dari wajahnya. Meski sedikit menyilaukan, namun Tya enggan berkedip apalagi berpaling. Dari dulu Tya memang suka sekali dengan sunset.
“Tidak terasa 2 tahun sudah kita menjalani hubungan ini…,” suara Tya terdengar seperti sebuah rintihan di telingaku. “Dan selama rentang waktu itu pula sudah banyak hal yang kita lewati bersama. Meskipun banyak orang yang menentang hubungan ini, tapi kita berhasil membuktikan pada mereka bahwa kita masih menyatu…”
“Kita sudah menjadi juaranya!”
Tya berhenti sejenak, menelan ludah untuk mengusir dahak yang menyumbat tenggorokannya.
Aku masih terdiam tanpa kata. Kepalaku mengangguk setuju. Itu semua benar. Apa yang di katakan Tya barusan tak satu pun yang meleset.
“Tapi sekarang… ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan padamu”
“Apa itu? Katakan saja!” ucapku tak sabar menunggu.
Biasanya Tya sengaja mengulur-ulur waktu untuk membuatku penasaran. Tapi kali ini, jika dilihat dari raut wajahnya yang muram, tak tepat rasanya jika aku menduganya demikian. Pasti ada hal yang sangat penting yang membuat ia sampai sebegitu ragu untuk mengucapkannya padaku.
“Ayahku sudah tahu tentang hubungan kita,” ujarnya kemudian.
Aku tetap mebisu, karena kutahu masih ada kalimat selanjutnya yang ingin ia utarakan. Tapi belum-belum, hatiku sudah dirambati oleh perasaan sedih yang juga tak nyaman.
“Ayah menyuruhku untuk berpisah denganmu dan menikahi seorang gadis,” lanjutnya, masih tak berani menatapku.
Dan ketakutanku itu akhirnya terwujud. Seketika aku gamang. Dari sini aku sudah mulai dapat gambaran akhirnya akan seperti apa.
“Dan kau setuju begitu saja?” tanyaku memastikan.
Mantap, Tya mengangguk. “Tak ada pilihan lain buatku. Dan kau pantas marah untuk itu!”
Aku tergagap, “Lantas… bagaimana dengaku? Dengan hubungan kita berdua? Dengan semua mimpi-mimpi yang selama 2 tahun ini kita bangun?” tanyaku kalap. Tak kusangka Tya berani menghancurkan semua yang kami miliki.
“Mungkin sudah saatnya kita mengakhiri hubungan tak wajar ini. Sebelum kita terlanjur terjurumus ke dalam dunia fana yang selama ini kita agung-agungkan. Kita bisa membuka lembaran baru dan memulainya dari awal lagi…”
Aku menggelengkan kepala, tak percaya dengan semua kata yang kudengar, yang meluncur dari mulutnya.
“Terlambat…” tukasku. “Mestinya kau tahu, itu semua tak mudah bagiku…Kau adalah satu-satunya yang berharga buatku. Aku tak ingin kehilanganmu…”
Tya merangkulku dan meletakkan dagunya di pundakku. “Karena itu kau harus belajar untuk melupakan diriku dan menemukan seseorang yang benar-benar tepat untukmu, yang bisa melengkapi separuh jiwamu…dan itu bukanlah diriku”
“Apa semudah itu bagimu untuk melupakan aku?” tanyaku lirih.
Tya menggeleng pelan. “Tidak. Buatku itu juga sangat berat dan menyakitkan. Tapi aku harus melakukannya.”
“Tya…”
“Panggil aku Radit. Aku lebih suka kau memanggilku dengan nama itu” titahnya sambil tersenyum simpul.
Apakah aku juga tak boleh memanggilmu dengan sebutan sayang itu lagi? Kataku dalam hati. Namun aku memutuskan untuk menurutinya.
“Baiklah. Radit…” ucapku kaku. Tak biasa dengan nama itu. “Apakah setelah semua ini berakhir, kau akan benar-benar menghilang dari kehidupanku?”
Wajahnya langsung pias. Radit tak mampu menjawab. Mulutnya terkunci rapat.
“Tolong jawab pertanyaanku!” tuntutku.
“Maafkan aku karena tak berhasil menepati janjiku,” ucapnya dengan sorot mata menyesal.” Aku tak bisa selamanya bersamamu. Aku telah menentukan pilihanku”
Luka itu kembali tersayat semakin dalam di hatiku. Perih. Namun tak banyak yang bisa kulakukan selain menahan air mataku agar tak jatuh. Aku tak ingin menangis untuknya –paling tidak bukan di depannya. Kepalaku tertunduk lemah.
“Kau boleh memilih jalan hidupmu sendiri setelah kita berpisah. Tapi aku tetap pada pendirianku. Aku ingin menjalani hidup yang aku punya sekarang. Dengan, atau tanpamu…”
Radit mendesah. “Apa pun keputusanmu, yang berhak menentukan itu adalah dirimu sendiri. Dan aku hanya bisa mendukungmu dari sini,” ia meletakkan telapak tangannya di dadaku.
“Baiklah kalau itu maumu…,” ucapku pasrah. “Kita berpisah saja”
“Tapi sebelum semuanya benar-benar berakhir, bolehkah aku meminta satu hal padamu?” aku memohon padanya.
Radit mengangguk dengan pasti. “Apa pun akan aku lakukan untukmu”
Aku tak kuasa lagi memandang wajah itu. Kupejamkan mataku karena perih menahan tangis. “Beri aku ciuman terakhirmu…,” pintaku tulus.
Kejadian selanjutnya yang kurasakan adalah sapuan lembut bibirnya yang mendarat di bibirku. Sekuat apa pun aku menahannya, tapi akhirnya air mata itu berhasil keluar dari sudut mataku. Dadaku sesak oleh perasaan sedih bercampur kehilangan. Rasanya seperti ada ribuan belati yang bersarang di hatiku. Perih dan ngilu.
Setelah ciumannya tak terasa lagi, aku masih belum berani untuk menatap kepergiaanya. Seperti ada beton yang mengganjal di pelupuk mata, yang membuatnya enggan terbuka. Hal terakhir yang kudengar adalah suara bisikannya,
“Selama aku akan membawamu dalam kehidupanku…”
“Ari… aku pergi!” pamitnya.
Saat kubuka mata, matahari sudah condong ke barat. Sinar jingganya yang pilu mengingatkanku akan sosoknya yang mencintainya waktu senja. Bukan diriku. Namun di balik mataku, tempat air mata tak dapat menghapus bayangan itu, aku masih bisa melihat wajah rupawan itu tengah tersenyum padaku…
Cinta datang seperti cahaya matahari. Takkan mampu ditutupi, apalagi dihindari. Engkau bisa saja menggunakan payung, topi, jaket atau berlindung di bawah pohon untuk menghindari sengatannya. Tapi tetap saja engkau masih bisa merasakan kehangatan yang dipancarkannya.
Demikian juga rasa cintaku padamu. Meski terlarang, tapi aku tak dapat memungkiri bahwa hatiku telah terpatri oleh sosokmu. Walau kini bayangmu telah hilang tersapu ombak, tapi bagiku itu tak masalah, karena setiap hembusan angin laut akan terus membisikan namamu.
10 tahun kemudian…
“Ari…”
Aku mendengar bisikmu lagi dalam mimpiku. Namun, itu terleawat jelas jika di katakan mimpi. Lagi pula aku ‘
Namun mataku masih enggan untuk terbuka. Aku takut ini benar-benar mimpi dan saat aku membuka mata nanti bayanganmu kembali hilang ditelan ombak. Tapi mengapa… mengapa suaramu tak henti-hentinya memanggilku? Baiklah! Jika sekali lagi kau memanggil namaku, aku akan membuka mata.
Hening… sunyi… aku pasrah.
“Ari…!”
Senyum terbit. Cepat-cepat aku membuka mata. Dan benar saja, sosokmu telah kembali hadir dikehidupanku. Dengan wajah yang sudah lebih tua tentu saja.
Baru saja mulutku hendak terbuka dan meneriakkan namamu, namun aku urung melakukannya. Saat itu juga, kusadari bahwa yang kau panggil bukan aku, melainkan bocah kecil yang tengah membangun istana pasir di dekat bibir pantai itu.
“Ayah!” seru anak itu.
Kau menghampirinya. “Ayo pulang. Hari sudah sore. Lain kali kita main lagi disini,” bujukmu sambil mengulurkan tangan. Ari kecil langsung menyambutnya dengan patuh. Tak tega melihatnya jalan jauh, kau menggendong jagoan kecilmu itu di atas pundakmu. Ia tersenyum lebar.
Dari sini aku hanya mampu memandang nanar punggungmu dengan rasa haru menumpuk didalam dada. Kini aku paham dengan kalimat yang pernah kau ucapkan waktu itu.
“Selamanya aku akan membawamu dalam kehidupanku…”
Dan itu terwujud melalui Ari yang kau hadirkan di tengah-tengah keluarga bahagiamu.
Raditya… terima kasih
0 komentar:
Posting Komentar