Aku ingat… hari itu kau tengah duduk sendirian di bangku taman sambil membaca buku favoritmu. Aku hapal betul kebiasaanmu itu. Dan kau sama sekali tak terusik meski puluhan orang sudah berlalu-lalang di hadapanmu. Bahkan daun-daun yang berguguran, jatuh ke tanah lalu terbang diseret angin pun tidak kau hiraukan. Matamu terus terfokus pada apa yang kau baca.
Dan aku tidak tahan untuk tidak melihatmu…
Kita sama-sama duduk di bangku taman, tapi tidak dalam satu bangku. Aku berada tepat di depanmu, namun kau tak menyadari itu. Bagimu, aku tak ubahnya dengan daun-daun yang satu per satu jatuh dari tangkainya itu.
Coklat yang kubeli dari supermarket telah habis. Dan segelas kopi panas yang kubawa dari rumah juga sudah dingin, tapi kau masih belum beranjak dari tempatmu. Tadinya kopi itu buat menemanimu membaca, tapi karena ketidakberanianku untuk menghampirimu, kopi itu sudah keburu dingin.
Bodohnya aku ini. Bahkan hanya untuk memberi segelas kopi padanya saja aku tak berani. Mungkin teman-temanku benar. Selamanya aku hanya bisa mejadi pangagummu, bukan pengantinmu.
Malam mulai merayap naik. Lampu-lampu taman menyala disusul secara serentak oleh kilau indah lampu-lampu
Dan saat itu, barulah kau beranjak dari tempat dudukmu. Sebelumnya kau sempat menggeliat untuk meregangkan otot-otot pundakmu yang kaku karena terlalu lama terpaku pada buku. Barulah saat itu kau menyadari keberadaanku.
Pipiku memerah dan senyumku merekah saat sepasang mata indahmu menatapku. Aku langsung tersipu malu dan salah tingkah. Setiap kali kepergok tengah memperhatikanmu, aku selalu bertingkah seperti itu. Hampir setiap hari malah.
Sebelum benar-benar pergi, kau sempat melemparkan senyummu padaku. Itu adalah senyum pertama yang kau berikan kepadaku setelah sekian lama aku mengintaimu. Tak perlu kuungkapkan bagaimana perasaanku, kalian pasti sudah tahu.
Angin kembali berhembus, menerpa pepohonan lalu menggelontorkan daun-daunnya. Rambut panjangku berkibar mengikuti kemana arah angin membawanya. Aku masih duduk tenang di tempatku semula, menatap nanar punggungmu yang kian menjauh. Ketika bayanganmu hampir menghilang dari pandanganku, hatiku bergejolak, menuntut agar aku tak melewatkan waktu yang berharga itu begitu saja.
Dengan cepat, aku bergegas berlari menyusulmu sebelum bayanganmu benar-benar menghilang…
Aku hanya mampu meneriakkan itu dalam hati. Beruntung aku masih bisa mengikuti jejakmu. Kau berjalan sepuluh meter di depanku. Dan tanpa kau sadari, aku terus mengikutimu hingga kau tiba di sebuah rumah kayu sederhana, yang kuyakini itu adalah rumahmu.
Seekor anjing besar berbulu putih datang menghampirimu dengan lidah terjulur. Anjing itu menyambutmu dan menginnginkan kau untuk mengelus kepalanya. Dan itu kau lakukan.
“Hai, Bruno! Lama ya kau menungguku?” katamu sambil mengacak-acak bulunya.
Aku mengintip dari balik pohon yang tumbuh di depan rumahmu. Senyumku mengembang, memperhatikan apa yang barusan kau lakukan.
Tak lama kemudian kau mengajak anjingmu masuk ke dalam rumah. Kau sudah lebih dulu menghilang dari balik pintu –masih belum juga menyadari bahwa aku berada tak jauh darimu. Tapi aku lega, setidaknya anjingmu yang lucu itu sempat melihatku, meski sepintas.
Keesokan harinya, dan hari-hari berikutnya, kejadian masih tetap sama. Kita masih sering bertemu di taman itu. Terkadang kau juga turut membawa serta anjingmu yang bernama Bruno itu. Tapi aku sering kali kasihan pada anjingmu. Karena, jika kau sudah larut dalam duniamu –buku, novel, roman dan sebagainya- kau sering mengabaikannya. Padahal dari matanya yang sayu, lugu dan juga menggemaskan, Bruno berusaha menarik perhatianmu.
Kasihan kau Bruno. Nasibmu tak jauh beda denganku.
***
Suatu hari, aku sedang membeli icecream di pedagang yang menggelar stand-nya di taman itu. Tiba-tiba saja Bruno sudah berada di dekatku dengan ekspresi muka minta dikasihani. Matanya yang polos tertuju ke tangan kananku yang memegang icecream.
Aku langsung paham maksudnya.
Kuputuskan untuk membeli satu buah icecream lagi untuk Bruno. Dan begitu kusodorkan icecream itu ke arahnya, tanpa malu-malu ia langsung menjilatinya.
“Ooohhh… rupanya kau lapar ya?” kataku sambil mengelus-elus kepalnya.
“Bruno…!” terdengar suara dengan nada khawatir bercampur lega yang berasal dari arah belakang. Saat aku berpaling ke belakang,
Deg! Jantungku serasa berhenti berdetak ketika kau sudah berada di hadapanku dengan napas sedikit tersenggal. Melihatmu dengan jarak sedekat ini, membuat dunia seperti terjungkal.
“Disini kau rupanya!” ucapmu lega seraya mengacak-acak kepala Bruno. “Aku mencarimu kemana-mana. Kukira kau sudah pulang ke rumah.”
Aku merasa gugup berada sedekat itu denganmu, jadi kuputuskan untuk sedikit jaga jarak. “Maaf…,” ucapku pelan, nyaris berbisik. Kepalaku tertunduk malu. “Tadi anjingmu kelihatan lapar sekali. Jadi aku memberinya icecream.”
“Tidak apa-apa. Aku justru berterimakasih padamu. Pagi ini aku memang lupa memberi makan Bruno,” ucapmu sembari tersenyum. Bak terhipnotis, aku pun membalas senyumanmu.
“Oh iya, aku sampai lupa!” Kamu berdiri, kemudian mengulurkan tanganmu padaku. “Namaku Bryan,” kau memperkenalkan diri.
Aku sudah tahu namamu, batinku. Namun aku tak ingin kau tahu itu.
“Fanny!” jawabku sambil menyambut uluran tanganmu.
Setelah itu, obrolan kita terus berlanjut dan mengalir begitu saja tanpa beban. Seringan daun yang berjatuhan dan terbawa hembusan angin. Kau berjalan disisiku, menelusuri tepi danau yang pada musim dingin airnya akan membeku. Bruno berjalan tak sabar di depan kita. Sepertinya ingin memberiku kesempatan untuk berjalan berdua saja denganmu. Sungguh anjing yang pintar.
Puas berkeliling, aku dan kamu memutuskan untuk duduk di kursi yang menghadap ke danau. Kau masih belum puas bercerita panjang lebar tentang kehidupanmu. Dan aku hanya menjadi pendengar setia karena tak tahu harus bercerita apa. Tak ada yang menarik dari hidupku yang patut untuk diceritakan. Tapi aku senang menjadi tempat curahan hatimu, karena dari situ aku jadi bisa tahu lebih banyak tentang dirimu.
***
Esok paginya aku sengaja membuat segelas kopi spesial hasil racikanku sendiri. Hari itu aku bertekat untuk memberikan itu padamu. Akan kuusir jauh-jauh si pengecut itu dari hatiku. Sudah terlalu lama aku menjadi pungguk yang merindukan bulan karena terpasung oleh rasa takut itu. Kuputuskan hari itu juga aku ingin mengucapkan ini padamu,
“Aku mencintaimu…”
Seperti orang kesetanan aku berlari sekuat tenaga menuju taman, dimana kau selalu menghabiskan waktumu disana dengan sebuah buku di tanganmu. Sudah tak sabar aku ingin segera melihat senyummu lagi. Dan aku rela harus beradu cepat dengan angin agar lekas berjumpa denganmu lagi.
Tunggu aku! Sebentar lagi aku datang…
Detik demi detik bergulir begitu saja tanpa arti. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak daun yang sudah berguguran semenjak aku menunggumu disini. Aku duduk menantimu di bangku yang biasa kau duduki selama berjam-jam untuk membaca novel. Bahkan suhu kopiku yang tadinya panas kini sudah mulai menurun. Tapi kau masih belum juga datang.
Dan aku mulai dilanda resah dan gelisah.
Seperti biasa, taman itu selalu ramai dilintasi oleh banyak orang. Tapi entah mengapa hatiku terasa sunyi tanpa kehadiranmu. Mendadak perasaan jadi tak menentu. Firasat ini membuatku jengah. Kamu dimana? jeritku dalam hati.
Keheninganku pecah saat mendengar suara sirine ambulans yang melintas di jalan dekat taman. Saking terkungkungnya dalam kegelisahan, sampai-sampai aku tak menyadari bahwa sudah banyak orang yang menyemut dijalanan, tak jauh dari tempatku berada. Dan rupanya ambulans itu berhenti di dekat kerumunan orang-orang itu.
Aku tidak tertarik untuk bergabung dengan kerumunan orang-orang itu, meski tak kupungkiri, aku penasaran dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi disana. Namun kemudian, sayup-sayup aku mendengar lolongan Bruno yang sangat familiar di telingaku. Senyumku merekah. Akhirnya kau datang juga.
Sesaat mataku masih mencari-cari sosok anjing putih itu. Dan mataku menemukannya tengah berada di dekat ambulans sambil terus menggonggong. Aku bangkit dari kursi, bukan karena menemukan majikanmu Bruno, tapi justru kebalikannya. Aku sama sekali tak melihat sosoknya tangah memegang tali lehermu.
Dimana dia Bruno? Jeritku dalam hati.
Rasa takut yang luar biasa kembali merambati hatiku. Kulihat para petugas medis tengah menggotong sesosok tubuh bersimbah darah dan sudah terbujur tak bernyawa. Dan mengapa kau terus menggonggongi orang itu Bruno?
Aku berlari secepat mungkin menuju ambulans untuk mengetahui jawabannya.
Gelas kopiku terlepas dari genggamanku… jatuh ke tanah lalu tumpah. Aku diam mematung. Akhirnya aku berhasil menemukan dirimu. Tapi tidak dalam kondisi yang aku harapkan. Inilah jawaban atas ketakutanku selama ini.
Ternyata, kaulah orang dalam ambulans itu…
***
Sekarang adalah musim gugur kelima yang sudah aku lalui tanpamu. Tapi tak pernah sekalipun aku lewatkan tanpa mengunjungi tempat dimana engkau telah tertidur pulas dibawah batu nisanmu.
Tapi kau tak usah khawatir. Aku tak sendiri. Ada Bruno yang menemaniku disini.
Air mata penyesalan itu sepertinya takkan pernah habis dari mataku. Rasa cinta yang kusimpan dalam hati belum sempat kuungkapkan padamu. Namun, kau sudah lebih dulu pergi meninggalkan aku. Pergi jauh ketempat yang tak bisa kuikuti. Itulah perpisahan yang paling menyakitkan buatku.
Tapi aku harap kau tahu…
Meski engkau kini telah gugur
Memeluk damai dalam istirahat panjangmu
Tapi ketahuilah wahai sayangku,
aku akan kembali setiap musim gugur
hanya untuk mengatakan ini padamu,
“Aku mencintaimu…”
0 komentar:
Posting Komentar