WINTER

Awal musim dingin, udara di luar sangat menusuk kulit. Meski sudah mengenakan baju hangat tapi tetap saja hawa dingin itu masih bisa merasukimu. Meski hari sudah beranjak siang, namun aku masih meringkuk di atas kasur dengan selimut tebal menutupi seluruh tubuhku.

Sebetulnya aku masih betah tidur berlama-lama di bawah selimutku yang nyaman itu, namun suara bel pintu –mau tak mau- memaksaku untuk bangkit dari sana. Dengan langkah gontai dan tetap membawa serta selimutku –aku tak sanggup jauh-jauh darinya- aku berjalan menuju pintu depan.

Udara dingin langsung menyeruak masuk begitu aku membuka pintu. Aku sampai bergidik saat angin menerpa wajahku. Kurapatkan selimutku untuk mengusir hawa dingin itu.

Di depan pintu sudah berdiri seorang lelaki tua berjaket hitam tebal. Ada sepucuk surat di tangan kanannya. Lelaki tua itu adalah Pak Bob, seorang tukang pos yang sering mengantarkan surat padaku.

Ada kiriman surat untuk nak Aly!” ujar Pak Bob, masih bisa tersenyum lebar di tengah udara yang membekukan ini. Disodorkan surat itu padaku.

Tak lama surat itu sudah berpindah tangan. “Terimakasih Pak Bob!” kataku dengan gigi bergemelutuk.

“Ya sudah, kalau begitu saya pergi dulu. Masih banyak surat yang harus saya antarkan,” pamit Pak Bob sambil melangkah menuju motornya. Aku mengangguk sembari mengantar kepergian pak tua itu dengan sebuah lambaian tangan.

“Hati-hati di jalan Pak. Cuaca sedang tidak bersahabat akhir-akhir ini!” pesanku ketika motor Pak Bob mulai berjalan perlahan. Pak Bob menjawabnya dengan sebuah anggukan kepala.

Setelah deru motor Pak Bob tak lagi terdengar, aku buru-buru masuk ke dalam rumah. Kuletakkan surat itu di atas meja ruangan tengah. Nanti saja kubaca. Aku ingin membuat secangkir teh dan sarapan roti panggang dulu. Perutku lapar sekali.

Kuseruput teh hangat yang baru saja aku buat. Rasa manis dan hangatnya perlahan menjalari kerongkongan, merambat ke perut lalu kemudian tersebar ke seluruh bagian tubuh. Kuletakkan cangkir yang isinya tinggal setengah itu di meja, kemudian jemariku mangambil surat yang beberapa menit yang lalu sempat kuabaikan.

Rupanya surat itu dari Sam…

Kubuka amplop itu dengan merobek salah satu sisinya, kemudian mengeluarkan isinya dari dalam. Ada sebuah surat dan sebuah foto yang menggambarkan Sam dan aku tengah mencium kedua pipi Priska, anak tunggal kami yang berumur 3 tahun. Terdapat ucapan yang ditulis dengan tinta emas di balik foto itu. Bunyinya,

Selamat Hari Natal dan Tahun Baru

Salam peluk dan sayang

Dari anakmu

Priska

Senyumku merekah. Ada kerinduan yang membuncah di hatiku, dan itu membuat mataku sedikit berkaca-kaca. Sudah lama aku tak bertemu dengan anakku. Terakhir bersamanya adalah tahun baru kemarin. Dan sekarang, aku sangat merindukannya.

Menit selanjutnya aku habiskan untuk membaca surat dari Sam. Mataku bergerak kekiri dan kekanan mengikuti tulisan yang di tulis Sam dalam suratnya.

Dear Aly

Sebelumnya aku ingin memberitahukan kabar Priska padamu. Dia baik-baik saja. Dan dia sekarang sudah tumbuh menjadi gadis kecilku yang cantik.

Akhir-akhir ini ia sering menanyakan tentang kabarmu. Tampaknya Priska sudah sangat rindu padamu. Aku menyadari, selain diriku, Priska juga membutuhkanmu… Jadi, kuputuskan liburan musim dingin ini Priska tinggal bersamamu.

Aku berhenti sejenak disitu. Kudekap erat surat itu di dadaku. Dengan satu tarikan kuat, aku menghirup napas dalam-dalam, lalu berucap dalam hati, “Terima kasih Sam…”

Kuteruskan membaca bagian selanjutnya…

Malam minggu ini aku ingin bertemu denganmu di Giant Christmas Tree dekat taman kota –tempat kita pertama kali bertemu, kau ingat?- sekaligus menyerahkan Priska padamu.

Aku harap kau tak keberatan untuk menungguku sebentar disana –kau tahu sendiri ‘kan kereta di tempatmu sering terlambat? Dan jangan lupa menggunakan baju hangat dan membawa segelas teh hangat untuk menemanimu. Aku tak ingin melihatmu mati kedinginan gara-gara menungguku (aku hanya bercandaJ).

Kurasa aku harus mengakhiri suratku sampai disini. Sampai bertemu denganmu disana. Bye…

-SAM-

Usai membaca surat itu, entah mengapa aku jadi tak tahan untuk tidak menangis. Bukan karena sedih… tapi karena aku… bahagia!

Jam 7 malam aku sudah mengenakan jaket tebal, syal, penutup kepala, sarung tangan dan juga sudah menyiapkan segelas kopi hangat. Kumasukkan surat dan foto yang di berikan Sam ke dalam saku jaketku. Aku siap berangkat untuk menemui 2 orang yang aku cintai itu.

Aku berjalan menelusuri setiap sudut kota. Setiap jejak langkah kakiku tak pernah aku sia-siakan untuk tidak melihat setiap etalase yang memamerkan segala pernak-pernik Natal maupun baju-baju keluaran terbaru –masih dengan tema menyambut hari Natal- dan juga saling melempar senyum kepada Sinterklas yang tersenyum ramah kepada semua orang yang melambaikan tangan padanya.

Setiap pohon yang di tanam di sisi jalan semuanya dihiasi oleh warna-warni lampu yang membuatnya tak kalah cantik dengan pohon Natal yang terdapat di setiap sudut toko atau pun rumah. Kota kecil ini pun berubah menjadi bidadari jika malam tiba. Bahkan kabut yang menyelimuti kota pun tak mampu menutupi keindahan kota kecil ini.

Kusempatkan diri untuk mampir kesebuah toko mainan. Setelah melihat-lihat sejenak dan menemukan apa yang aku cari, aku meminta petugas toko untuk membungkusnya dengan kertas kado agar tampak lebih menarik. Tak sampai 10 menit aku sudah keluar dari toko dan kembali melanjutkan perjalananku.

Tibalah aku di taman kota. Sebuah pohon Natal besar berdiri dengan anggun dihiasi oleh pernak-pernik dan lampu warna-warni. Saking besarnya pohon itu, aku sampai harus mendongakkan kepala hanya untuk melihat bintang yang tertancap di pucuknya. Dibawahnya sudah tergeletak ratusan kado Natal yang nantinya akan disumbangkan ke panti asuhan. Kuletakkan kado yang tadi kubeli diantara tumpukan kado-kado itu.

Kakiku pegal karena kelelahan berjalan. Kuputuskan untuk duduk di kursi taman yang menghadap ke Giant Christmas Tree sambil menunggu mereka. Kuteguk teh hangatku hingga tandas. Disaat kepalaku tengah menengadah ke angkasa, tiba-tiba saja ada sesuatu yang membuatku langsung terpikat. Butiran-butiran salju nan lembut perlahan mulai turun secara perlahan, sangat ringan seperti kapas yang ditabur dari langit.

“Alysa!”

Suara yang sangat kukenal itu memanggilku. Saat kepalaku menoleh ke kiri, sekitar 10 meter dari tempatku duduk, sudah berdiri seorang lelaki paruh baya berbalut jaket putih tebal tengah tersenyum padaku.

Seketika senyumku terbit, namun mata ini mulai merebak lagi. Sudah lama sekali aku tak melihat sosok itu hadir dikehidupanku.

“Samuel! Bibirku bergetar memanggil namanya.

Perlahan ia berjalan menghampiriku. Begitu sampai di dekatku, Sam langsung memelukku tanpa ragu. Aku selalu siap kapanpun menerima pelukan hangat itu, meski aku harus melelehkan air mata setiap kali menerimanya. Aku menangis dalam dekapannya.

“Dimana Priska?” tanyaku begitu menyadari gadis kecilku tak bersamanya.

“Dia sedang mampir ke toko mainan bersama Maria,” jawabnya.

“Oh…,” hanya itu yang keluar dari mulutku.

Airmataku tak lagi tumpah. Kuhapus sisa-sisanya yang masih menempel di pipi dengan punggung tanganku. Sam kemudian duduk di sampingku. Kami menatap pohon Natal di hadapan kami yang mulai dihiasi oleh butiran-butiran salju. Putih dan juga sangat indah.

Kami berbincang hangat seputar kehidupan yang kami jalani sekarang. Tak banyak berubah dari sosok Sam yang kukenal dulu. Dia masih tetap menjadi sosok yang menyenangkan. Dan disaat-saat romantis seperti inilah yang terus mengingatkan aku tentang hubungan kami yang hanya berjalan selama 4 tahun itu. Serpihan kenangan itu agaknya telah membawaku melewati lagi dimensi waktu masa lalu.

Ngomong-ngomong, kalian pernah dengar istilah sewa rahim? Itu adalah istilah yang sering digunakan oleh pasangan suami istri yang ingin memiliki keturunan namun bukan dengan cara mengadopsi. Anak yang dikandung murni anak mereka, namun bukan dilahirkan dari rahim sang ibu, melainkan menyewa seorang perempuan yang bersedia menyewakan rahimnya. Biaya yang diterima memang sangat bombastis, itu belum termasuk uang tunjangan tiap bulannya. Tapi sebagai persyaratan, setelah bayi yang di kandung lahir, ia harus menyerahkan bayi itu tanpa berherhak mengklaim itu adalah anak kandungnya.

Istilah ini memang belum terlalu akrab ditelinga masyarakat, karena orang yang melakukannya pun tak sebanyak orang yang melakukan poligami atau kawin kontrak. Tapi dari segelintir orang itu, akulah salah satunya. Aku rela menyewakan rahimku bukan semata-mata demi uang, sama sekali bukan. Tapi ini semua demi Sam. Sejak dulu aku memang sudah mencintai Sam. Ia adalah pacar pertamaku saat kami masih duduk di bangku SMA. Dan Maria juga tahu itu, karena dia adalah sahabatku.

Mungkin, dari beberapa wanita yang menyewakan rahimnya, akulah yang paling beruntung. Setidaknya Sam dan Maria tetap memperbolahkan aku mengakui Priska adalah anak kandungku. Dan aku sangat bersyukur untuk itu.

Obrolan kami terhenti seketika saat suara lembut Priska memanggil namaku.

“Bundaaaa….!!!!”

Kaki kecilnya berlari menghampiriku dengan tangan terbuka. Senyumku merekah. Tanganku ikut terbuka untuk menangkap pelukannya. Saat ia sudah berada di pelukanku, kuangkat ia dan kami berpelukan sambil berputar-putar, mirip di film-film India. Kukecup pipi gadis kecil itu dengan penuh kasih sayang. Aku rindu sekali padanya.

Tahu-tahu Maria sudah berdiri di samping Sam sambil melingkarkan tangannya di pinggang. Sementara itu, tangan Sam sudah melingkar di leher Maria. Ada kecupan yang mendarat di dahi Maria. Mereka tampak mesra sekali. Tapi aku sama tak cemburu. Maria patut mendapatkan Sam.

Malam harinya Sam dan Maria menginap di rumahku. Semalaman kami habiskan dengan mengobrol sambil menikmati secangkir teh hangat. Priska sudah tertidur lelap dikamarnya di lantai atas, mungkin kelelahan dalam perjalanan menuju kemari. Malam semakin larut, udara dingin makin menusuk dan membuai mata kami agar cepat tertidur. Tak lama kemudian Maria sudah tertidur lelap dalam dekapan Sam. Dan aku juga sudah mulai mengantuk. Namun, ketika aku berdiri dan hendak pergi ke kamarku, ada sentuhan tangan hangat yang menahanku untuk pergi.

Aku terdiam dan membiarkan rasa hangat itu menjalari tanganku. Mataku kembali merebak. Aku tahu tangan siapa itu meski mataku tak melihat pemiliknya. Dan ingin rasanya aku merasakan sentuhan itu lebih lama lagi, kalau bisa. Namun entah mengapa, aku mebiarkan diriku melepaskan genggamannya. Sebelum air mataku jatuh, aku buru-buru masuk kamar dan langsung membanting tubuhku di atas kasur. Airmata itu keluar juga.

Keesoka harinya, salju tebal sudah menutupi hampir seluruh permukaan tanah. Kabut tipis mengapung di udara pagi. Matahari dan kicauan burung sepertinya absent hari ini. Sebagai gantinya, semilir angin dingin menyambut begitu kami keluar rumah. Namun itu semua tak menghalangi aku dan Priska untuk mengantarkan Sam dan Maria ke stasiun.

“Sam…,” panggilku. Sam menatapku dengan tatapan menunggu. “Terima kasih sudah mengizinkan Priska tinggal bersamaku selama liburan musim dingin ini. Aku janji akan mengantarnya ke rumahmu sebelum hari pertama masuk sekolah tiba”

“Aku tahu apa yang terbaik untuk Priska… dan juga untukmu,” Sam tersenyum sambil melirik Maria sekilas. “Meski dia sudah mendapatkan kasih sayang dari ibu barunya… tapi ia juga butuh sentuhan dari kamu, ibu kandungnya”

Kata-kata Sam sempat membuatku terharu. Aku langsung mendekap erat tubuhnya, tidak terlalu lama tentu saja, karena ada hati yang harus aku jaga perasaannya. Kemudian aku meraih tangan Maria. Kupersembahkan senyum tulus dan terimaksihku padanya.

“Terima kasih kau telah merawatnya dengan baik…,” ucapku

“Aku sudah menganggapnya seperti anak kandungku sendiri,” kata Maria.

Kami saling berpelukan. Dalam pelukannya, Maria sempat berujar, “Terima kasih juga karena kau telah mengembalikan Sam ke dalam pelukanku. Aku tahu itu sangat berat untukmu, karena aku tahu, jauh di dasar hatimu kau masih mencintainya, ‘kan?”

Aku mengangguk sambil melirik Sam yang tengah sibuk menciumi Priska dan bercengkrama dengannya. “Kau benar. Selamanya aku tetap mencintai suamimu…”

Kereta api sudah membunyikan klaksonnya 2 kali, dan siap untuk berangkat. Seluruh penumpang sudah naik ke atas gerbong. Sam dan Maria melambaikan tangannya melalui kaca jendela saat kereta perlahan mulai melaju. Aku dan Priska membalas lambaian tangan itu sembari tersenyum. Kereta api pun kini telah jauh berlari, membawa cintaku pergi. Cinta yang selamanya takkan pernah mati. Meski butiran-butiran salju bisa membekukan ragaku, tapi tidak dengan hatiku. Selalu ada ruang hangat dihatiku untuk menerimanya kembali…


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar